Realita

131 20 3
                                    

Waktu itu, di awal bulan kedua, adalah ketika kesempatannya yang terakhir hilang pada pertemuan mereka setelah bertahun-tahun. Ia tak bisa mengingat detailnya. Yang ia tahu, berita yang sedikit mengejutkannya itu memupuskan niatnya untuk melangkah. Mungkin ia kembali salah arah.

***

Kakinya sudah menginjak Bumi Arema lagi. Setelah hampir sepekan ia pergi ke Pulau Dewata untuk urusan bisnis start-up yang baru, ia bisa kembali memakan sarapan terbaik yang dimasak oleh ibunya tercinta.

"Kuangen aku, Ma," katanya setelah mengucap salam dengan aksen malangan sambil menarik kursi meja makan dan mulai mengambil nasi.

"Kamu lo Pan, mbok ya cuci tangan dulu. Baru juga nyampe beberapa menit dari perjalanan." Ibunya memukul bahu laki-laki itu dengan pelan, tanda sayang.

Dia meringis. Tahu bahwa cuci tangan sebelum makan adalah wajib bagi keluarganya. Ia pun melipir ke bak cuci piring, membersihkan tangan sekaligus cuci muka. Sekalian saja pikirnya. Daripada harus ke wastafel kamar mandi. Ia hanya malas melangkah. Perutnya sudah keroncongan.

"Bapak sudah sarapan ta, Ma?" tanyanya. Tak menjumpai orang lain di rumahnya selain ibunya didampingi asisten rumah tangga. Biasanya ayahnya sudah meminum jus buah tepat pukul enam pagi, dilanjutkan sarapan sehat sebagaimana anjuran dokter. Pernah stroke dan punya riwayat hipertensi membuat ayah laki-laki itu perlu dijaga ketat terkait asupan makanannya.

"Bapak jalan-jalan, Harits sama anak-anaknya semalem nginep sini. Lagi nemenin kakungnya jalan-jalan. Paling ke sekitaran kolam." Ibunya menjawab sambil masih menyiapkan lauk-pauk dari dapur dibantu dengan asisten rumah tangga.

Laki-laki itu hanya mengangguk-angguk dan meneruskan makannya. Sampai ketika ia melihat ada undangan yang ditaruh di atas meja makan. Dia baru menyadari benda itu tergeletak begitu saja.

"Undangan dari siapa ini, Ma?" tanyanya. Bingung dan penasaran.

Ibunya meletakkan piring terakhir berisi tahu tempe. Tanpa menengok undangan tersebut, perempuan paruh baya dengan rambut sedikit memutih di bagian dekat pelipis itu menjawab, "Buat Harits itu. Kemarin temannya ke sini ngasihno undangan. Tapi Mbak Rom yang terima, jadi Mama ndak tahu temannya Harits yang mana. Mungkin ngira Harits masih tinggal sama kita."

Laki-laki itu masih penasaran. Ketika jemarinya telah membuka seujung plastik undangan, seucap salam dari suara kanak-kanak hadir menginterupsi kegiatannya. Dua keponakannya berlari memasuki ruang makan dengan heboh, suara mereka melengking meminta makan pada mbah putrinya.

"Oom Apan!" Si kecil, masih berusia belum genap dua tahun minta didudukkan di dekat omnya. Sedangkan yang besar, berusia empat tahun, sudah menyendok nasi dari magic jar.

"Halo para jagoan, Kakung mana?" Omnya yang dipanggil Apan mengelus kepala plontos si kecil. Dan bertos tinju dengan kakaknya.

"Masih ngobrol sama Pak Dul di depan," kali ini kakaknya yang menjawab, ia baru masuk ruang makan.

Merasa para keponakannya sudah sibuk dengan kegiatan mereka, laki-laki itu kembali menyelesaikan sarapannya. Tetapi segera teringat dengan undangan yang lupa ia buka. "Oh, ada undangan, Mas... buat pean (sampean, kamu)," Diberikannya undangan itu pada kakaknya.

"Oke, nuwus ya. Fan." Harits, sang kakak berucap terima kasih dalam bahasa walikan suwun. Dengan menarik kursi dan duduk bergabung dengan anak-anaknya, ia membuka undangan itu.

R&A berhias menjadi huruf yang manis di awal halaman, inisial nama calon mempelai. Harits memastikan tanggal pernikahan juniornya yang sekaligus sahabatnya ketika di lembaga dakwah kampus itu. Ia menggeleng pasrah. Bukan saat ia libur acara akadnya.

"Nggak bisa hadir?" Adik laki-lakinya bertanya. Penasaran.

Harits mengangguk, "Jumat pagi akadnya, langsung resepsi, di Jogja. Aku nggak bisa ambil libur itu," katanya.

Adiknya hendak mengambil undangan itu. Tetapi keduluan ibunya. "Woalah, Reyhan to yang nikah? Dapat mana?" Ibunya mengenal calon mempelai laki-laki. Beberapa kali ia menjadi tamu keluarga Alatas.

"Orang Jogja, Ma. Aku ada ngajar itu di pondok. Nggak mungkin ninggal."

"Yo wis, gak usah dipaksa. Titip hadiah aja," usul ibunya. Harits mengangguk.

Adik laki-lakinya tidak pernah mengenal siapa itu Reyhan, tetapi Kota Jogja mengingatkannya pada perempuan yang baru kembali dari sana.

Mungkin sekarang dia juga udah balik lagi ke Jogja.

Ia meringis dalam hati. Memiliki proyek yang sama dengan perempuan itu, tidak langsung serta merta membuat mereka kembali akrab. Kecanggungannya kali pertama bertemu setelah beberapa tahun masih terasa setiap ia berbicara baik secara langsung atau lewat obrolan dunia maya. Keakraban itu sudah jauh dari jangkauannya. Menggoda perempuan itu pun ia tak akan berani lagi ia lakukan.

"Rafan, kamu melongo gitu? Mbok ya piring langsung dicuci sana lo, wis selesai sarapan, ta?" Ibu laki-laki itu menegur. Mengucapkan nama aslinya, bukan nama kecilnya, Apan.

Rafansyah Alatas. Laki-laki itu nyengir. Tanpa membantah ia menuju bak cuci, walau dengan pikiran yang melayang entah ke dimensi waktu yang mana. Setelah menyelesaikannya, ia kembali ke ruang makan untuk mengambil travel bag-nya yang masih nyangkut di kaki kursi. Tanpa sengaja undangan warna peach dengan desain bunga-bunga mawar kecil itu terpampang. Yang menarik perhatiannya adalah, nama perempuan di undangan tersebut. Begitu familier. Begitu lekat dalam ingatannya. Kejutan lagi untuk kenyataan.

"Loh, Alana temenku, Mas ..." kalimatnya menggantung, seakan masih merasa ajaib dengan realitas lucu ini. Tatapannya masih tidak beranjak pada undangan itu.

"Iyo, ta?" Kakaknya tertular perasaan terkejut yang berbeda.

Tanpa mengurangi rasa terkejutnya, ia berseru, "Iya. Dia satu kelas sama aku di tahun ketiga. Sering satu proyek tugas juga. La dia ini yang kuceritakan kalau kenal umak, Mas. Nikah sama temenmu?"

"Walah, masyaallah. Sopo sing nyangka?"

"Haha, iyo Mas, enggak ada yang nyangka. Hahahaha. Ma, kayake anakmu ndak jadi punya calon habis ini."

Laki-laki itu berkelakar seperti biasa, jika ada undangan pernikahan dari relasi, sahabat, atau tetangga. Tetapi kali ini kelakarnya terdengar menyedihkan. Secepat ini takdir menjawab kegundahannya. Sejak melihat gadis itu lagi beberapa bulan lalu.

Rafansyah Alatas, kamu kalah lagi oleh dirimu sendiri. Ia patut mengasihani diri sendiri.

****

Catatan Penulis: Pukpuk Alatas. Wkwkwk.

January, 06 th 2020

Cangkir Terakhir: Cerita Kopi 2Kde žijí příběhy. Začni objevovat