Mama Team Adrian, Papa Team Arsa. Aku Team Siapa?

9K 763 21
                                    

"Mas bukan pria beristri, Dek."

"Lalu mamanya Dio kamu anggap apa, Mas?!" Dia pikir aku lupa fakta itu cumq karena aku masih memiliki perasaan padanya. Aku malah gemas sama Adrian yang seolah-olah nggak menganggap istrinya.

"Mamanya Dio sudah meninggal, setelah melahirkan Dio." Raut wajah Adrian berubah sendu, dan aku merasa bersalah.

"Maaf," cicitku. Suara meledakku sudah hilang setelah mendengar nada bicaranya yang berubah menjadi datar dan dingin. Mungkin, dia masih sangat mencintai mendiang istrinya. Lalu kenapa dia seolah ingin mendekatiku?

Aku tidak berani bertanya lagi. Agaknya pembahasan ini emang terlalu sensitif buat aku dan Adrian. Aku nggak mau goyah lagi, maka aku tutup bibirku rapat-rapat. Adrian pun sama, dia tidak bersuara lagi. Cuma Finneas yang lanjut bernyanyi Let's Fall In Love. Seolah tadi sudah menyindirku, sekarang dia malah kayak yang menyemangatiku buat jatuh cinta lagi pada Adrian. Menyebalkan, lagian kenapa koleksi lagu Adrian yang beginian?

Aku berhasil menahan diri supaya tidak menghancurkan audio mobil Adrian sampai akhirnya mobil yang belum lunas ini memasuki area carport rumahnya, dan aku langsung keluar, menuju rumahku.

Tepat sebelum membuka pintu rumah, Adrian memanggilku. "Dek, adakah kesempatan buat Mas bawa kamu kembali?"

Pertanyaan Adrian berhasil buat jantungku seperti berhenti berdetak, tubuhku membeku tapi aliran darahku terasa seperti mengalir lebih cepat dan membuat suhu tubuhku meningkat. Aku goyah, dan menjadi setuju dengan Finneas. Let's fall in love for the night, and forget in the morning!

Sekesal apapun aku pada Arsa, aku tetap menggerakkan lidahku bercerita tentang kemarin, dan Arsa dengan setia mendengarkan sambil memindahkan foto-foto Adrian dari ponselku ke komputer sherly.

Harusnya kemarin aku mengintip komputer sherly yang mungkin menyimpan data notaris di sana. Tapi semuanya udah terjadi, aku bisa apa selain hampir memeluk Adrian semalaman kalau aja aku nggak sadar, dan memilih masuk rumah saja, nangis-nangis sambil peluk foto duda ganteng di ponselku.

"Lo masih masih mau sama Satria?"

Aku harus jawab apa?

Aku takut semisal jujur pada Arsa kalau sejak malam tadi harapanku melambung lagi, dia bakal menceramahiku selama delapan windu. Tapi kalau aku nggak ngaku, dia bakal mengataiku sebagai pembohong mendesakku sampai ngaku. Akhir-akhirnya, tetap saja aku diceramahi delapan windu oleh Arsa.

Aku mengulas senyum bingung saat mengedikkan bahu. "Gak tau, tapi gue kasihan sama Adrian, dia pasti sedih banget waktu itu. Momen membesarkan anak itu impian semua pasangan suami-istri. Tapi impian Adrian harus kandas karena istrinya meninggal pasca melahirkan."

Tapi nyatanya, Arsa malah ngangguk sambil berlalu gitu aja tanpa suara, apalagi pamit, dan nggak balik lagi sampai jam kerja habis.

*

Kalau dipikir-pikir, aku memang berbakat menjadi pelakor. Nyatanya, aku berhasil mengajak Papa belanja bulanan, sedangkan Mama kami tinggal sendiri di restoran cepat saji. Sebut saja kami tega, memang benar, Papi yang gampangan dan aku yang jahat.

Oh, tidak dong. Itu cuma bercanda, kami nggak setega itu berbuat zalim pada Mama, wanita yang sangat kami cintai. Papa sengaja menyuruh Mama istirahat dulu karena kakinya mulai sakit, tidak memungkinkan berjalan-jalan. Jadinya, Mama cuma menitip daftar belanjaan yang harus aku beli. Kenapa Papa tidak menemani Mama saja?

The Past Future [END]Where stories live. Discover now