[2] Immortal Eve

61 4 1
                                    

Kamis, 16 Januari 2020


Immortal Eve

A Story Written by Utamiwu_

Malam terasa begitu sunyi. Aku melihat seorang lelaki gelisah dalam tidurnya dengan peluh berjatuhan dan jantung yang berdetak cepat. Untuk kesekian kalinya aku melihat ia seperti itu. Aku berjalan perlahan menghampirinya, memperhatikan raut wajah resah miliknya. Ku usap peluh yang terkumpul pada dahinya. Ku letakkan kedua telapak tanganku melingkupi kedua matanya yang tertutup. Lalu ia kembali tenang dan tersenyum. Kurasa dia sudah merasakan kebahagiaan disana, di alam mimpi.

Namaku Eve. Banyak manusia memanggilku dengan sebutan malaikat atau peri. Namun, jangan sesekali menyebutku dengan kedua sebutan itu. Aku sudah cukup muak mendengarnya. Pada dasarnya, aku ialah sesosok manusia tanpa fisik yang hidup abadi di dunia ini. Hanya saja, aku memiliki kelebihan. Aku bisa mengubah mimpi buruk seseorang menjadi mimpi indah.

Walaupun begitu, aku sama sekali tidak menginginkan untuk menjadi manusia yang tak terlihat seperti ini. Wujud ini merupakan sebuah kutukan yang diberikan oleh penyihir, jauh sebelum manusia mengenal teknologi seperti sekarang ini. Memang, banyak yang mengatakan jika penyihir hanyalah dongeng fantasi, khayalan atau apalah. Namun kenyataannya penyihir itu memang ada. Aku pernah hidup pada masa itu. Sebuah masa dimana kekuatan makhluk diukur dari seberapa tinggi tingkat kemampuannya dalam menguasai ilmu sihir.

Manusia dan penyihir hidup berdampingan dengan berbagai makhluk hasil sihir lainnya. Kehidupan tampak tenang, mengabaikan perbedaan signifikan dari wujud kami. Pada masa itu, manusia juga diberikan kesempatan untuk belajar ilmu sihir. 

Tidak semua manusia tentunya. Hanya mereka para manusia yang memiliki kedudukan tinggi dalam kastanya. Ya, kami masih menggunkan sistem kasta dalam kehidupan. Omong-omong, penyihir dan manusia memiliki perbedaan yang sangat menonjol. Ukuran tubuh penyihir lebih kecil dari manusia, memiliki telinga dan dagu yang runcing serta wajah yang kisut.

Ayah dan ibuku dulunya merupakan manusia kasta atas yang memegang kekuasaan tertinggi. Kala itu aku bersekolah di Oxyfen, salah satu sekolah sihir terbaik di negaraku, Frecsxy. Frecsxy merupakan salah satu negara yang ukurannya tidak lebih luas dari gurun sahara dan memiliki empat musim, sama seperti negara bagian utara lainnya. Walau begitu, musim dingin di Frecsxy jauh lebih lama dibanding negara empat musim lainnya di bumi.

Aku banyak memiliki teman dari golongan penyihir maupun manusia. Kami berteman dengan baik tanpa membedakan wujud kami. Bermain, belajar dan tak jarang pula kami saling bercerita bersama tentang indahnya kebersamaan di Frecsxy. Mau bagaimana lagi, kami hanyalah anak-anak berusia dua belas tahun yang hanya berpikir bagaimana cara untuk bersenang-senang. 

Terlalu kekanakan memang, tapi inilah kami. Mungkin anak lain yang seusia kami sudah diajarkan untuk mengelola wilayah, administrasi dan lain sebagainya. Tapi aku dan kelima temanku tidak terlalu memperdulikan hal itu. Kami hanya ingin bermain, hehe.

Suatu hari, terjadi sebuah peperangan besar akibat perebutan kekuasaan antara penyihir dan manusia. Aku banyak mendengar pembicaraan orang lain, ketika jalan-jalan maupun ketika makan di kedai. Hatiku mencelos ketika aku dapat menyimpulkan sendiri inti perkataan yang aku dengar. Peperangan besar itu terjadi karena keserakahan kami, para manusia yang ingin menguasai wilayah kekuasaan Frecsxy dan membuat peraturan sendiri.

Dalam perang besar tersebut banyak berjatuhan korban jiwa dari penyihir dan juga manusia. Pembantaian keji dilakukan oleh para penyihir menggunakan mantra guna menghabisi manusia. Korban jiwa yang berjatuhan mayoritas berasal dari manusia kasta bawah yang kurang akan pengetahuan tentang sihir. Potongan tubuh mereka terpental ke berbagai arah. Bayangkan, betapa kejamnya penyihir menghabisi keturunan kami.

T I M E (Kumpulan Cerpen)Where stories live. Discover now