Empty 15

2.5K 359 44
                                    

Surabaya siang hari.

      Aku menikmati segelas Machalatte yang kupesan di salah satu kedai kopi terkenal di tanah air. Sesekali mengecek alat pengukur waktu yang berada di gawaiku.

Pukul satu siang, aku sengaja membuat janji dengan Mahardika untuk bertemu di kedai kopi ini. Sembari menunggunya jari tanganku tergerak untuk membuka galeri. Ada video Gendis yang kusimpan saat dia sedang bernyanyi di caffe kemarin malam. Video yang kemudian membuatku candu untuk terus melihatnya.

Semalaman aku tak bisa tidur, bayangan keadaan Gendis enam tahun lalu benar-benar memberikanku efek luar biasa.

Setelah ayah bercerita semua yang dia tahu, aku kemudian menemui Juni di kedai. Kami bercerita hingga jam tiga pagi.

Juni menceritakan semuanya, semua yang dia tau atas permintaanku.

"Separah itu?"

"Bahkan dia masih hidup sampai sekarang aja aku masih sangat bersyukur, Bin. Kemungkinan hidupnya kecil. Bahkan, kalau tohpun hidup, kemungkinan dia bisa normal agak sulit.

Tapi apapun itu, dia sudah bahagia sekarang. Dia udah bisa terima keadaan, jadi biarin dia bahagia meski bukan sama kamu, Bin." Ujar Juni yang membuatku kemudian bertanya dalam hati.

Apa benar dia sudah bahagia?

Sampai kemudian lagu yang dia nyanyikan sudah habis, aku beralih ke aplikasi pesan. Beberapa kali aku sempat menimbang, mengetikan pesan lalu menghapusnya lagi karena kurasa bahasaku kurang pas.

Dis, bisa kita bicara?

Setelah berpikir cukup lama akhirnya aku memutuskan untuk mengirimnya.

"Bin, sory lama."

Sapaan seseorang membuatku mengangkat kepala. Aku tersenyum lalu berdiri untuk menyambut uluran tangannya.

"Apa kabar Mas Dika?" tanyaku pada lelaki yang tengah mengenakan kemeja lengan pendek, lengkap dengan celana panjang berwarna Cream ini.

"Seperti yang kamu lihat, Bin. Ah ya, sekarang sudah resmi jadi dokter, bukan?" tanyanya yang ku jawab dengan senyuman tipis.

"Dadakan banget ngasih kabar mau ke Surabaya, sih?" lanjutnya kemudian.

"Aku baru pulang, Pengin cerita-cerita sama Mas Dika juga sebenarnya."

"Waduh! proyek besar sih ini. Mau cerita aja segala ke Surabaya. Lewat telepon juga bisa kali, Bin," cibirnya padaku.

Aku terkekeh pelan dengar gurauan Mas Dika.

"Jadi ada apa?" tanyanya kemudian.

Aku menatap ragu sosok di depanku ini. Entah kenapa ketakutan seperti menyerangku.

"Benar Mas belum menikah sampai saat ini?" tanyaku terus terang.

Kedua alis Mas Dika tertukik tajam padaku, "kok kamu serem ya, Bin? masih lurus, kan?"

"Sialan!" umpatku kesal,"Ya, masih, lah!"

Mas Dika tertawa, kedua mata sipitnya sampai terpejam saking kerasnya dia tertawa.

"Sory, Pertanyaanmu ambigu soalnya," ucapnya setelah tawanya sedikit reda.

"Mas ingat Sandra?"

Pertanyaanku langsung membuat mas Dika diam, wajahnya terlihat lebih tegang dari beberapa menit yang lalu.

"Mungkin Mas akan kaget dengar omonganku ini, tapi--"
Aku menjeda ucapanku karena suara ponselku yang tiba-tiba berbunyi.

EMPTY   Where stories live. Discover now