Empty 43

2.1K 410 84
                                    

"Sudah sampai mana?"

Aku langsung narik tanganku yang sedari tadi digengam Bintang ketika pegangannya mulai menendur.

"Cirebon," jawabku sembari memalingkan kepala menghadap cendela. Bahu kiriku rasanya pegal karena nahan beban kepala Bintang yang bersender di bahuku.

"Dari tadi aku tidurnya gini?" tanyanya dengan suara serak, "Maaf, ya. Pegal?"

Aku mengeleng, bukan itu masalahnya tapi rasanya dari tadi aku kualahan ngatur detak jantungku yang mengila.

"Kamu nggak tidur?"

"Nggak ngantuk," jawabku singkat.

"Bohong, kan, kamu abis begadang. Tidurlah gantian aku yang nungguin kamu."

"Nggak ditungguin juga nggak akan ada yang nyulik aku pas tidur, Bin."

Bintang ketawa, entah apa yang lucu.
Padahal ucapanku benar, kan?

"Maksudku, nanti aku yang bangunin kalau udah sampai stasiun Gambir."

"Aku nggak ngantuk" jawabku bersikukuh.

***

     Ternyata rencana tinggal rencana, aku tertidur ketika kereta sudah membawa kami untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta.
Sampai sebuah usapan ringan di pipiku terasa, aku kemudian membuka mata. Perlu beberapa detik aku mengumpulkan kesadaranku, cukup kaget waktu pas buka mata, wajah Bintang terlalu dekat denganku.

"Bangun, sebentar lagi kita turun."

Aku tertegun karena dengar ucapan lembut Bintang serta senyum tipisnya yang entah kenapa bikin jantungku kebat-kebit tak karuhan.

Kami turun setelah penumpang di gerbong kami habis. Biasanya petugas akan membantu seorang disabilitas seperti aku ini untuk turun dan naik gerbong. Itu yang membuatku nyaman naik kereta meskipun beresiko.

"Mau langsung pulang? mobilku di sini, kalau langsung pulang kita nunggu antrean keluar habis dulu."

Aku tidak lagi bisa menyembunyikan keterkejutanku dengar ini, bukankah dia cerita sebelumnya ke Jogja menggunakan pesawat, "Mobilmu di sini? Gimana bisa?"

Kami memilih duduk di salah satu bangku tunggu seraya menunggu para penumpang lain selesai antre untuk keluar area peron.

"Sebelum berangkat ke Bandara, aku naruh mobil ke sini dulu semalam,"
Jawab Bintang yang kemudian ikut duduk di sampingku.

"Apa kamu keberatan kalau kita ke Coffe shop di bawah?" tanyaku pada Bintang.

Aku nunjuk salah satu coffe shop yang memang ada di dalam stasiun ini. Lagipula aku ingin sekali berbicara dengan Bintang.
"Aku butuh kopi sepertinya."

"Nggak masalah, Biar nanti pulangnya nggak terlalu macet," jawab Bintang seraya menarik pergelangan tangannya.

Kami sampai di Jakarta pukul 21.55. Belum terlalu malam, rasanya aku butuh sesuatu yang menyegarkan pikiran. Dan di sinilah kami sekarang, kami memesan Matchalate di salah satu gerai kopi.

Sudah lama sekali kami nggak ngobrol berdua dari terakhir kami hangout bareng waktu itu, meski tak direncanakan sama sekali. Tapi, mungkin kali ini saatnya aku bicara sesuatu yang serius dengan Bintang.

"Terima kasih," ucapku tulus. "Terima kasih masih mau peduli sama aku padahal terakhir kalinya aku yang menyuruhmu untuk menjauh."

Aku memilih tak menatap Bintang saat mengucapkannya, jariku memilih memainkan pinggiran cangkir minumanku.

Entah kenapa rasanya terlalu takut melihat reaksi Bintang saat aku ingin mengungkapkan isi hatiku.

"Aku juga minta maaf kalau perkataanku di rumah sakit waktu itu menyakitimu, Bin," lanjutku bersama helaan napasku pelan.

EMPTY   Donde viven las historias. Descúbrelo ahora