Empty 28

2K 447 105
                                    

Teman-teman, tolong mudur sebentar ke part 25 yaa.
Yang belum kasih bintangnya dipart itu, pencet dulu dong.
Masa ngejomplangnya jauh banget.

Selamat membaca❤❤

      Aku membuka mata saat kurasakan sesuatu yang dingin berada di atas dahiku. Saat aku merabanya, sapu tangan kecil menempel di sana.

Aku masih mengumpulkan sisa-sisa ingatan kenapa aku bisa demam,
Semalam aku tidur benar-benar hampir pagi. Jam tiga dini hari, aku keluar untuk mematikan seluruh lampu di rumah ini.

Aku sedang tak ingin diganggu siapapun.

Tapi, siapa ini yang sudah masuk ke rumah dan mengompres dahiku?

Aku belum siap jika memang Gavin yang melakukannya. Aku belum siap ketemu dia untuk saat ini dan entah sampai kapan.

Napasku berhembus keras ketika kurasakan dadaku mulai sesak lagi.
Tapi aku tak bisa begini terus, aku harus benar-benar tahu maksud ucapan Gavin kemarin apa. Demi Tuhan, aku cuma tidak mau jadi beban hidupnya nantinya.

"Kamu udah bangun?"

Aku yang hendak berusaha bangun dan bersandar pada headbord, mendadak menoleh ke sumber suara. Pintu terbuka dan menampilkan Mama yang sudah mengenakan kaos rumahan dan membawa mangkok dan segelas air putih.

"Mama kapan datang?" tanyaku cukup kaget. Bukan bermaksud mengabaikan pertanyaan Mama tadi, aku hanya bingung, Sebab Mama bilang dia baru akan pulang lusa.

"Jam tujuh udah sampai di rumah tadi," jelas Mama sambil meletakan telapak tangannya ke dahiku, "masih panas, Mama sudah telepon dokter Hans supaya ke sini," lanjut Mama.

Dengar nama dokter Hans disebut aku mendadak cemberut.
"Ma, Pertiwi cuma demam. Minum obat turun panas juga sembuh, kok."

"Jangan bikin Mama makin khawatir. Oke? Mama sudah cukup panik waktu ditelepon Gavin kamu demam. Mama sampai pesan penerbangan paling pagi karena takut kamu kenapa-kenapa. Dan, itu kenapa Gavin kamu suruh tidur di luar semalaman?"

Mataku sontak melebar dengar pertanyaan Mama barusan. Kupikir semalam Gavin sudah pulang setelah kutinggal masuk.

"Kalian bertengkar?"

Aku menggeleng, takut kalau Mama tahu yang sebanarnya. Helaan nafas Mama jelas menunjukan ketidakpuasannya atas jawabanku.

"Buburnya disuapin apa mau dimakan sendiri?" tanya Mama setelah diam beberapa detik dengan pandangan tak lepas dari wajahku. Tanpa aku jelaskan, tentu Mama sudah tahu aku sedang tidak baik-baik saja.

"Sendiri aja, Ma."

Mama mengangguk seraya mengusap kepalaku, "Dihabisin ya, nanti tinggal nunggu dokter Hans buat minum obatnya."

Menuruti keinginan Mama aku mulai menyentuh bubur yang sudah disiapin meski rasanya sedikit pait dan hambar. Baru setengah dari bubur yang disiapkan Mama pindah ke perut, tiba-tiba aku merasa mual.

Aku mengambil tongkat, lalu berusaha untuk bangun dan menyeret kakiku ke kamar mandi. Tapi, meski berusaha mempercepat langkah, nyatanya aku harus sabar untuk menopang tubuhku menggunakan tongkat.

Sembari menunduk, aku mengeluarkan isi perut di dalam wastafel kamar mandi. Badanku benar-benar lemas dan kepalaku sangat pusing sekarang.

Untuk mengurangi rasa sakit di kepala, kupejamkan mata sembari menarik dan mengeluarkan napas pelan-pelan.

"Dis?"

Perlahan aku membuka mata mendengar namaku disebut. Jantungku rasanya hampir copot ketika pantulan tubuhnya terlihat dari kaca besar di hadapanku.

EMPTY   Where stories live. Discover now