30. Tercurah

1.4K 94 14
                                    

Ada yang kangen, ada yang kangen?

***

"Ya Tuhan, adakah hal yang lebih buruk selain mengecek ribuan laci ini satu persatu?" Ratap itu sarat makna. Antara nyata keresahan maupun ironi.  Namun kita bisa mengatakan bahwa keduanya memang terkandung dalam raungan itu.

Gadis itu meluruhkan tubuhnya pada permukaan lantai marmer yang dingin. Keningnya penuh peluh dengan beberapa anak rambut mulai lepek. Rambutnya yang semula dikuncir rapi kini juga telah keluar ikatan sebagian.

Menghela napas berat, dia memejamkan matanya sejenak. Keningnya berkerut dengan tangan sesekali mengusap peluh.
Dalam hening, tiba-tiba terdengar gemuruh. Bukan, bukan dari langit, melainkan perut gadis itu yang mulai berkelit.

Tadi malam dia ketiduran di paviliun. Awalnya dia ingin kembali ke kamar dan meneruskan pencarian besok. Tapi berhubung cuaca tak mendukung. Gadis itu memilih untuk berkeliling kedalam paviliun, untungnya dia menemukan sebuah ruangan yang dialihkan menjadi sebuah kamar dengan kasur queen size berlapis seprai putih gading. Dengan suasana yang cukup baik, dia akhirnya tertidur pulas hingga pagi.

"Ternyata tidak semudah yang ku bayangkan."
Ucapnya dengan lesu. Niat hati ingin segera beranjak pergi untuk makan. Tapi sesuatu membuatnya tercengang.

Permukaan tembok yang awalnya ia gunakan untuk bersandar bergeser saat ingin dia jadikan tumpuan berdiri. Membuat gadis itu sedikit banyak merasa terkejut. Dan apa yang dia lihat selanjutnya, menambah presentase kejutnya beberapa persen.

"I-ini. Mungkinkah?"

***

"Margaret, kemana putriku? Bukankah sudah ku bilang, jangan biarkan dia pergi tanpa seizin dariku?!"

"A-ampun Tuan, tadi malam sebelum hamba pergi untuk mengecek jamuan untuk tamu. Hamba yakin bahwa putri telah terlelap di kamarnya."

"Lalu kemana dia sekarang?!"

"H-hamba tidak tahu Tuan."

"Dasar tidak becus!" Teriak pria itu berlanjut dengan menendang Margaret hingga terjungkal. Membuat perempuan tua itu merintih nyeri pada bagian pinggang. Tendangan pria itu terlalu keras bagi Margaret, ditambah usianya yang semakin renta membuat tubuhnya terasa lebih sakit.

"Ayah!" Teriak seorang gadis lekas bersimpuh di dekat Margaret.

"Restya! Jauhkan tanganmu dari pelayan itu! Tidaklah pantas seorang putri menyentuh rakyat jelata sepertinya. Rob-"

"Cukup Ayah!" Bentak gadis itu membungkam sang pria beserta semua orang yang ada di sana.

"Bagus, Restya! Terlalu lama berkumpul dengan para pelayan itu, kini kamu berani membentak Ayah?" Ucap Thomas bertepuk tangan dengan sorot tak terbaca.

"Cukup Ayah!" Bentak Restya sekali lagi, sorotnya luka. Tak lama kemudian, butir bening mulai meluncur bebas, diikuti isak menyayat yang membuat suasana semakin bungkam.

Thomas yang melihatnya menutup mata dengan tangan memijat pelipis. Terpancar sorot sesal di kedua netranya meski samar.

"Kita sudahi saja rapat hari ini. Mohon maaf atas gangguannya, sungguh ini diluar kuasa saya. Kalian boleh kembali ke unit masing-masing." Ucap Thomas hendak beranjak pergi diikuti anggota rapat. Namun belum usai langkah mereka, Restya dengan tangan terkepal kembali bersuara.

"Dulu, Ayah selalu mengajarkan kepadaku untuk selalu menghormati orang yang lebih tua sekalipun dengan orang yang berpangkat lebih rendah. Ayah tidak pernah berkata kasar, apalagi bermain fisik seperti tadi." Dia berdiri dari simpuhnya, lalu dengan bibir gemetar kembali berucap. Membuat semua yang ada disana segera terserang iba.

"Ayah selalu tersenyum dengan hangatnya saat mengantarkan ku tidur, bahkan enggan beranjak sebelum aku benar-benar lelap. Ayah selalu menemaniku bermain, bahkan rela aku dandani sedemikian rupa demi membuatku bahagia. Ayah selalu mengajarkan untuk berbuat baik dimana pun aku berada. Setiap kutanya alasannya, Ayah bilang, itu demi kebaikanku. Mengapa? Karena jika bukan kita yang menyayangi diri kita, siapa lagi? Ayah, masih ingatkan? Atau, urusan ego Ayah lebih penting daripada kenangan kita, hingga mengaburkan segalanya?" Ucap gadis itu terhenti, tak kuasa menahan sesak yang mulai menjalar.

"Akh, iya. Semuanya hanya kenangan. Tapi, bukankah itu kenangan yang indah Ayah? Saat Raja Greenstyn terhormat memberimu anugrah untuk mengelola Nesthesya? Nesthesya yang dulunya gersang, kembali subur dengan hijaunya. Rakyat yang busung lapar¹ dapat tercukupi ekonominya. Bahkan, pencuri pun enggan melakukan pekerjaan kotornya demi mengabdi pada kerajaan.

Tapi itu dulu Ayah, sekali lagi, itu dulu. Sebelum akhirnya, ego berkuasa. Tahta, harta, dan wanita, bukankah itu menggiurkan untuk dimanfaatkan? Oh, tentu saja. Dan karena itu pula, Nesthesya menderita. Sadarkah Ayah? Bahwa Ibu meninggal bukan karena jantungnya yang mengalami perubahan irama, melainkan kecewa dengan sikap Ayah yang semakin semena-mena? Obat tidur menaunginya, hingga akhirnya overdosis dan meninggalkan kita? Sadarkah Ayah!?"

Semua hening. Termasuk Thomas yang kini tergugu dengan tangan terkepal, dadanya bergemuruh.

"Apa? Ayah tidak bisa menjawabnya? Walaupun aku sudah tahu, tapi ternyata lebih sakit saat, saat–"

Gadis itu kembali terduduk, Margaret dengan sigap merengkuh tubuh gemetar itu. Dengan tangan kanannya, gadis itu memukul kecil dada kirinya berulang*.

"Dan kalian, tidakkah kalian rindu dengan kemakmuran yang dahulu hingga rela terbelenggu keserakahan semata?" Lagu, Restya menimbulkan keterkejutan. Anggota rapat yang sempat tergugu, kini riuh mengiyakan.

"Bukankah sudah ku bilang rapatnya batal? Atau perintahku kurang jelas?" Ucap Thomas memecah kebisingan. Membuat semua anggota rapat terjengkit sebelum akhirnya keluar ruangan dengan gelayut sendu. Ya, mereka rindu Nesthesya yang dulu.

Tinggallah mereka bertiga dengan gemuruh masing-masing. Restya masih terisak dengan wajah memerah sementara Margaret menenangkannya.

Thomas masih terdiam, seolah tengah mengolah kata yang tepat untuk menjawab.

"Kau tahu, Anakku? Hidup tidak selalu mudah. Ada saja pilihan sulit yang harus kau pilih. Kau tahu? Kau mirip dengan Ibumu, cerewetmu, bahkan kepintaran berbicaramu. Tapi Nak, hidup tak semudah mengamati. Sekali-kali, terjerumus juga perlu. Jangan  hanya melihat dari sisi buruknya, tapi sesuatu dibaliknya juga perlu dikaji. Suatu saat kau akan paham. Ayah bangga padamu." Ucap Thomas beranjak tanpa menoleh sedikitpun. Ungkapan itu sedikit menghibur, walau raut sendu masih mengaburkan bayang tenang.

Tapi tetap saja, himpit masih menyesaki dada. Gadis itu tergugu dengan rasa yang tak terdefinisi.

Apakah dibenarkan, jika ia melewati garis takdir yang tidak seharusnya?

***

GAISS!
Aku gak tahu apa lagi yang bisa aku lakuin selain minta maaf. Ayolah, menjadi siswa tingkat akhir ternyata nggak seenak kelihatannya. Jadwal ujian udah kayak  deretan gerbong. Padat!

***

¹ Busung lapar; kekurangan gizi dengan ditandai membuncitnya perut, namun bukan karena obesitas melainkan kurang makan dan asupan nutrisi.

* Faktanya, memukul dada kiri secara berulang bisa melegakan perasaan, loh. Kalian sadar nggak, sih? Kebanyakan orang kalau lagi ngerasa nyesek /dielah/  secara nggak sadar bakal mukul dadanya? Nah! Aku baru tahu beberapa hari ini juga, sih😂. Nggak percaya?

Pas malming gitu coba, tapi jangan keras-keras. Dunia masih butuh kamu untuk hidup!

Kenapa pas malming? Karena menurut penelitian Mr. X, 99,9% human disini masih joms. Eh😂

Aku sayang kalian!

Salam,
Istrinya Jaemin, EstianDeridho
Muruh, 6 Maret 2020

Academy Magic SchoolWhere stories live. Discover now