SEUNTAS WASIAT 2

6.1K 267 10
                                    

***

Kedua bola mata Aufar terbuka tiba-tiba. Napasnya tersengal-sengal seolah baru saja menempuh perjalanan jauh. Dilihatnya lamat-lamat atap yang terlihat berbeda. Ia terjaga.

"Mimpi lagi. Astaghfirullah," ucap batinnya lirih.

Aufar kembali memejam. Wajah gurunya sekilas berkelebat membuat pria itu kembali mengingat tugas besarnya. Pria itu bangkit mendekati sebuah jendela yang terbuka. Sepoi angin yang masuk menyeka bintik-bintik bening di keningnya.

Suasana lengang, hanya sayup-sayup suara santri kelas I'dad yang sedang membaca nadzam Aj-jurumiyah terdengar dari kejauhan. Aufar menghela napas panjang. Dilihatnya keadaan sekitar yang penuh dengan tumbuhan dan kembang-kembang asri. Pria itu kembali memejam, lalu kemudian menghela napas dalam-dalam.

"Di mana saya harus memulai tugas dari panjennegan, Syaikh?"

Bruk!

Sebuah suara benda jatuh membuat kedua kelopak mata Aufar terbuka. Dilihatnya setiap sudut taman namun tak terlihat tanda-tanda apapun jatuh. Hingga kemudian matanya menyorot dua buah benda berwarna oranye kekuningan tergeletak di bawah sebuah pohon.

"Belimbing?"

Aufar bergegas keluar meninggalkan kamarnya yang sepi karena istrinya masih sedang takziyah bersama saudari-saudarinya yang lain. Pria itu memungut belimbing yang baru saja jatuh. Dia menimang-nimang buah itu. Dilihatnya lamat-lamat di setiap sisinya.

"Lima sisi? Rukun islam?" jantung Aufar berdenyut. Wajah gurunya kembali berkelebat. Demikianpun wasiatnya seolah terdengar jelas di telinganya.

"Apa perjalananku akan dimulai dari tempat ini? Tapi, apa kata kunci selanjutnya?" Aufar berjalan menuju gapura depan. Beberapa kang-kang santri seketika berdiri lalu menunduk saat melihat pria itu berjalan melewati pondok putra.

Mata Aufar berbinar, ketika melihat lima buah belimbing tua berdiri gagah di belakang gapura pondok putra. Buahnya berjatuhan di sana-sini. Beberapa santri putra kelas sifir yang masih berusia tujuh hingga sembilan tahunan berhisteria saling rebutan. Mereka menyembunyikan buah itu di balik lipatan sarung, di bawah peci, juga di sela-sela kitab yang sedang mereka dekap. Seolah tak ingin kawannya yang lain ikut mencicipi kenikmatan rasa manis asam dari buah belimbing yang mereka temukan. Tak lama kemudian, mereka lari terbirit-birit sambil berteriak kencang saat melihat Aufar mendekat.

Kaboooor!

Dari kejauhan, Usatadz Thoriq al-Aswad. Salah satu pengurus keamanan yang mendapat gelar Al-aswad dari para santri karena kulitnya yang hitam legam itu sudah siap sedia memberi pelajaran pada mereka. Selain karena terlambat masuk kelas dan memilih mencari buah belimbing. Mereka juga sudah bersikap tidak sopan saat bertemu dengan gus-nya.

Ustadz Thoriq segera berlari mendekati Aufar sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Ia meminta maaf karena anak-anak bimbingannya sudah bersikap kurang sopan padanya. Aufar hanya tersenyum sambil menepuk pundak Ustadz Thoriq.

"Laa ba'sa. Mereka itu masih anak-anak. Biarkan saja. Saya maklum," Aufar kembali tersenyum sambil lalu meneruskan langkahnya medekati lima pohon belimbing yang berdiri kukuh di belakang gapura.

"Lima rukun islam yang tertancap gagah di belakang gapura? Tidak salah lagi. Ini adalah salah satu di antara empat ciri-ciri tempat yang pernah diceritakan oleh Syaikh Ad-Damashqi," bathin Aufar dalam hatinya.

Konon, buah belimbing dijadikan sebagai lambang rukun Islam oleh para penyebar agama Islam di tanah jawa. Bahkan, agar mudah di ingat, Syaikh kanjeng Sunan Kalijaga sempat menciptakan lagu Lir ilir yang di dalamnya terdapat kata belimbing sebagai pengganti dari kata lima rukun Islam. Aufar teryakin bahwa jatuhnya buah belimbing tadi adalah salah satu petunjuk dari Allah untuk langkah perjalanan selanjutnya.

LIMA BIDADARI YANG TERUSIRDonde viven las historias. Descúbrelo ahora