SUARA BATIN PANDAWA LIMA 5

5.9K 357 27
                                    

(Jangan lupa utamakan membaca Al-Qur'an dan Al-Hadits ya :) )

***

"Assalamualaikum. Nyuwun sewu, Ning. Di luar ada Gus Aufar."

"Waalaikum salam. Aufar? Ada apa, Mbak?"
"Saya kurang tau, Ning."

"Oke, makasih Mbak. Suruh dia masuk!"

"Njih, baik, Ning."

Panggil aku Zila, Nazila As-Shadiqa. Dan aku adalah putri keempat Abah dan Ummi khadijah. Aku seorang ibu rumah tangga dengan dua orang anak laki-laki, Nazril dan Afin. Selain menjadi guru di pesantren Abah, aku juga merangkap sebagai seorang designer amatir yang karena kemampuanku itu, aku bisa memiliki butik cukup besar tak jauh dari pesantren Abah.

Hari ini, jantungku berdebar hebat saat Mbak-Mbak santri mengabarkan kalau Aufar datang ke butikku. Untuk apa dia datang kemari. Cukup berani juga rupanya dia menemuiku sendirian. Bukankah dia tahu bahwa aku menolaknya dengan keras ketika sedang di rumah Ummi?

"Assalamualaikum, Mbak." Dia menatapku sendu, tersenyum tulus seolah tanpa dosa. Aku mempersilahkannya duduk. Pastinya dengan ekspresi wajah cuek dan jutek karena jujur aku belum bisa menerima dia sepenuhnya.

Tentu bukan perkara mudah menerima kembali sosok masa lalu yang pernah menggilis habis kehidupanku. Seolah kain-kain yang sengaja dirobek. Mereka pasti masih bisa kembali disatukan. Namun tentunya kain-kain itu harus siap ditusuk jarum berulang-ulang. Ditarik tubuhnya dengan benang agar kembali rapat. Dan semua pasti sangat sakit. Teramat menyakitkan.
Jika bukan karena melihat kondisi Ummi dan melihat jasanya yang telah berkorban menolong keluarga ini. Pasti sudah kuusir dia, sama seperti halnya dulu orang tuanya mengusirku dan keluargaku dari Tanah Merah, Madura.

Aku juga masih belum bisa lupa dengan kejadian-kejadian pahit yang pernah aku alami. Perasaan takut, mencekam, khawatir dan cemas seolah makanan sehari-hari yang wajib terhidang di meja makan. Terutama ketika Abah dan Ummi sedang tidak ada di rumah.

Beruntung aku memiliki empat saudari yang senantiasa setia saling menguatkan. Selalu ada untuk menenangkan. Kami kompak saling bersama. Menyatukan tekad untuk tetap bertahan di tanah syurga.

Berubah, tenaga dalam.
Gerakan badan, kepalkanlah tinju.
Ranger Naga, Ranger macan, Ranger kuda, Jerapah, Merak.

Slalu hidup penuh semangat. Bagai langit yang terbakar merah dan membara.
Bersinar, lima bintang keadilan. Yang membela kebenaran dengan semangat menyala.
Kuingin melihat kau tersenyum jangan bersedih. Bersemangatlah dengan Star Ranger.

Haha. Sebuah lagu konyol yang sering kami senandungkan bersama saat santai, usai mengaji kitab pada Abah. Lagu itu adalah soundtrack sebuah sinetron robot tahun sembilan puluhan yang para pemainnya terdiri dari lima orang.

Sederhana, namun isi pesan dalam lagu itu membuat kehidupan kami seolah kembali bergelora. Disaat kami mengalami kejenuhan total karena benar-benar tidak bisa keluar rumah. Kami berusaha menghibur diri dengan berbagai macam hal.

Kami berlima dididik oleh Abah untuk bisa menguasai segala bidang. Ilmu agama, pengetahuan umum, keterampilan, negosiasi dan kemasyarakatan semua ditatar rapi saat beliau mengajar.

Abah memutuskan untuk mengajar putra-putrinya sendiri di rumah. Mengingat di luar rumah adalah tempat yang paling menakutkan bagi putra-putrinya. Tapi jangan salah, meski kami berlima tidak bersekolah, kami tetap memiliki buku-buku formal yang Abah dapat dari teman koleganya di Magelang.
Kami belajar secara otodidak. Matematika, fisika, kimia, biologi, sejarah, bahasa dan ilmu pengetahuan lainnya. Buat kami, ilmu itu bukan perihal tempat namun perihal isi. Kami boleh saja tidak bersekolah di sekolah formal, tapi kami memiliki buku-bukunya sehingga kualitas kami hampir menyamai mereka yang bersekolah.

LIMA BIDADARI YANG TERUSIRWhere stories live. Discover now