SERUAS DETAK 3

6.3K 329 18
                                    


***

Jika cinta yang indah akan berakhir sakit saat tidak berbalas. Maka bagaimanakah dengan kesakitan pada hati saat pemiliknya tidak mampu menuntut balas?

Wa katabna 'alayhim fiha annannafsa binansfi wal'ayna bil 'ayni wal anfa bin anfi wal udzuna bil udzni, wassinna bissinni, waljuruha qishas.

Jika melukai fisik dalam Islam harus terbalas setimpal; jiwa di balas dengan jiwa, mata dengan mata, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-lukapun ada qishasnya. Lalu bagaimana dengan luka yang ada pada hati Aina dan keluarganya? Haruskan terbalaskan dengan balasan yang sama? Haruskah terlukai dengan luka yang setara?

Cinta anak pak Salman yang tak terbalaskan membuatnya hancur melepuh, luluh lantah dan jatuh. Maka bagaimana dengan Aina? Ia memendam rasa sakit dan dendam selama sekian belas tahun. Terlalu kuatkah dia hingga bisa bertahan sejauh ini? Aku tidak mau istriku sama nasibnya seperti Farrel, anak Pak Direktur yang nasibnya sangat mengenaskan itu. Ambisinya yang besar, namun akhirnya terpatahkan, membuatnya seolah buta, tuli, lumpuh bahkan setengah mati setengah hidup.

Ya Allah.. jangan biarkan istriku mengalami hal yang sama. Rasa traumanya yang mendalam, semoga tidak sampai membuat jiwanya rusak, Ya Allah.

Rasanya sakit. Saat aku tahu, aku bisa mengobati penyakit batin Farrel dengan mudahnya. Tapi aku justru gagal mengobati batin istriku sendiri. Atau, haruskah aku membiarkan Aina membalaskan dendamnya padaku agar penyakit batinnya tak lagi berkecamuk?

Haruskah aku menyerahkan diri. Mengakui dosa-dosa keluargaku selama ini. Membiarkan dia membalaskan rasa sakit, rasa pahit, penghinaan, cacian, bullian, dan kesakitan yang pernah datang bertubi-tubi.

Keluarga pesantren memang bukan terlahir sebagai malaikat yang suci tanpa dosa. Demikianpun keluargaku. Sifat ambisi besar mereka akan tanah yang dimiliki Pamanda Nauval membuat mereka pernah gelap mata. Padahal, perihal agama mereka tidak perlu ditanya. Mereka pasti tahu bahwa mengambil sejengkal tanah milik orang lain kelak akan dihempas oleh tujuh lapis tanah di hari pembalasan.

Mereka pasti tahu bahwa menanam tanaman di atas tanah orang lain tanpa seizin pemiliknya lalu kemudian mereka makan hasil panennya, hal itu sama saja dengan mencuri. Haram hukumnya apa yang mereka makan. Dan sia-sia hukumnya apa yang mereka sedekahkan.

Man akhoda minal ardhi syaian bighayri Haqqihi. Khusifa bihi yaumal qiyamati ila sab'i aradhin.

Astaghfirullahal adziim wa atubu ilayk. Ampuni keluarga hamba di masa lalu, ya Allah. Ampuni hamba jika hamba juga terseret dalam kubangan dosa mereka. Jaga istri hamba. Kuatkan dia dalam menghadapi goncangan hidupnya.

"Kita mau ke mana? Jalan pulang sudah lewat seratus meter di belakang." Aina mendengus kesal. Gadis itu kembali menoleh ke belakang menatap jalanan. Persis seperti anak kecil saat tahu orang tuanya salah jalan.

"Oh ya? Maaf, maaf. Saya tidak sadar." Ucapku gelagapan seolah benar-benar lupa. Padahal, aku memang sengaja melewati pertigaan rumah agar bisa mendengar ocehannya. Karena jika di rumah, dia pasti akan diam seribu bahasa.

Aku juga ingin menuntaskan tugas mengantar undangan hari ini saja. Supaya durasi kebersamaanku dan Aina semakin lama. Lagipula aku enggan kembali ke rumah atau aku akan bertemu Mbak Zila dan Mbak Zahra, dua kaka iparku yang juteknya minta ampun itu. Padahal aku tahu sebenarnya mereka berdua orang baik. Hanya saja amarah mereka kembali muncul saat mereka melihat wajahku lagi. Jadi lebih baik aku menghindar dari mereka.

"Kenapa masih lanjut?"

"Terlanjur, kita tidak usah pulang sekalian?"

"Maksudnya?"

LIMA BIDADARI YANG TERUSIRWhere stories live. Discover now