RAMUAN CINTA 5

6.9K 283 2
                                    

🍁🍁🍁

Adzan subuh sudah tidak terdengar lagi di telinga. Ia mulai tergantikan oleh suara dedaunan yang bergemerisik halus serta bunyi tetes air jatuh sisa hujan semalam. Sayup-sayup suara santri putra terdengar menggema. Mereka membaca berbagai macam wiridan dan bacaan rutinan yang biasa di baca oleh para santri di setiap pesantren manapun.

Segera kusibak selimut, setelah sadar aku terlambat bangun sholat tahajjud. Udara dingin yang menusuk tulang membuatku enggan keluar dari dekapan bantal dan selimut.

Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Lalu kemudian mencari Gus Aufar untuk berjamaah sholat subuh. Yah, meski aku harus mengajaknya  tanpa suara seperti biasanya. Aku enggan menyapanya duluan, atau emosiku akan kembali memuncak seperti yang sudah-sudah. Maka terpaksa, aku hanya duduk diam di belakangnya, sebagai isyarat bahwa aku mau berjamaah dengannya.

Villa ini sangat sepi. Gus Aufar tidak terdengar suaranya. Gerakannya pun tidak terdengar. Apa jangan-jangan dia tidur pulas sampai-sampai tidak mendengar adzan subuh? Biasanya dia selalu bangun lebih awal dariku. Kemudian duduk di atas karpet menungguiku. Ia baru akan memulai sholat jika aku sudah siap duduk tenang di belakangnya.

Lima belas menit sudah aku menunggunya. Ia tidak juga terdengar langkahnya. Akhirnya kuputuskan untuk keluar. Terlihat TV menyala. Itu artinya ada seseorang di sofa. Setelah pelan-pelan kudekati, terlihat Gus Aufar sedang tidur pulas di atas sofa. Ia tidur hanya berselimutkan kemeja putih yang semalam dipakainya.

Aku menghembuskan napas, sebelum akhirnya netraku menangkap sebuah kertas di atas meja.

“Kamu sholat sendirian, ya. Dari tadi saya nungguin kamu, tapi kamu tidak bangun-bangun juga. Saya ngantuk sekali. Habis sholat subuh, saya tidur lagi. Maaf.” tulisnya di atas kertas.

Pria itu pasti oversleepy karena dari semalam berjaga di balkon belakang. Ah, seharusnya dia tidak perlu berjaga semalaman. Bukankah tempat ini pasti aman? Tapi, mendengar alasannya semalam, bisa jadi semua itu benar. Kejahatan itu tidak pernah mengenal tempat dan waktu. Seolah keluarga besarnya dulu, yang menyiksa keluargaku, tanpa mengenal waktu.

Deg.. Deg..

Jantungku kembali berdetak kencang. Entah kenapa memori masa laluku masih belum bisa aku hapuskan. Keringat dingin selalu mengucur saat ingatan itu kembali terbelukar. Dadaku akan kembali sesak. Tenggorokanku akan kembali tercekat kuat.

“Aina, Aina?!” Panggilnya lembut dalam igauan.

Aku segera beringsut mundur. Riuh suara jantungku pasti mengganggu telinganya. Aku tidak ingin dia tahu bahwa aku sedang mencarinya. Biar saja aku pura-pura tidak tahu pada tulisan di atas kertas itu. Segera aku masuk kamar dan kudirikan sholat subuh sendirian.

Usai sholat subuh dan membaca Al-Qur’an. Kuputuskan untuk melipat selimut dan membereskan bantal. Aku jadi teringat pada Gus Aufar. Tadi, dia tidur hanya berselimut kemeja. Padahal udara di sini sangat dingin sekali. Semalam ia juga berjaga di luar tanpa jaket. Dan aku dengan tega membiarkan dia melakukan hal itu.

Adakala aku merasa iba padanya. Seberapapun jahat kelurganya pada keluargaku, aku tidak berhak membalasnya sedemikian rupa. Bukankah, dia sudah bilang bahwa dia tidak ada di pihak keluarganya. Tapi, kenapa dulu ketika aku sering di dzolimi oleh saudara-saudaranya dia diam?

Ketika aku dan Mbak Zila bermain, Adnan, sepupunya sering merusak mainanku. Adnan juga tidak segan-segan membuang, membakar, meludahi dan menginjak-injak mainanku. Teman-teman yang lain hanya menertawakanku dan Mbak Zila yang menangis karena mainan kami rusak. Mereka seolah sangat bahagia melihatku dan Mbak Zila menderita.

LIMA BIDADARI YANG TERUSIRWhere stories live. Discover now