Langit Malam - Part 1

79.3K 2.7K 39
                                    

"Kamu tahu, Ta?" Tanya Bulan sore itu saat mereka duduk di bawah rindangnya pohon cerri. "Entah sejak kapan, aku menunggu kamu." Lalu pandangannya menerawang jauh. Jauh sekali sampai Bintang harus menahan nafasnya, menunggu tiap kata yang akan keluar dari bibir mungil milik Bulan.

"Entah sejak kapan aku memendam segala perasaan ini. Perasaan yang makin menghimpit perasaanku tiap aku kembali ke tempat ini." Bulan menyelesaikan kalimatnya dengan sempurna.

Di sebelahnya, Bintang tahu apa yang dimaksud oleh Bulan. Dia tahu kemana arah pembicaraan ini.

"Sudah sejak lama, aku mencintai kamu..." Tegas, kata-kata Bintang terdengar. "Sejak, seragam putih abu-abu mewarnai hari kita." Bintang berhenti, "mungkin lebih lama dari itu.. Lebih lama dari yang aku dan kamu kira."

"Lalu kenapa kamu kembali?" Suara Bulan terdengar pelan, bahkan nyaris kalah dengan suara semilir angin.

"Aku.. Aku kembali untuk kamu. Untuk kita."

Air mata Bulan jatuh satu-persatu. "Nama kita memang selalu berpasangan di langit malam dan selamanya akan selalu seperti itu."

Bintang menggelengkan kepalanya. "Aku bertaruh demi apapun Bulan. Kamu, cuma kamu yang akan kumiliki."

"Hentikan, Ta. Akhiri mimpimu." Dengan jemarinya Bulan menghapus air matanya, dan bangkit dari kursi tempatnya duduk. "Pulanglah, karena tidak ada tempat lagi untukmu di sini."

Bintang bergeming. Menarik lengan Bulan agar tetap duduk di sampingnya. Sampai sebuah suara mengagetkan mereka.

"Bundaaaaa..." Seorang anak kecil berlari ke arah Bulan dan diikuti dengan perempuan tua.

Bintang kaget melihat kenyataan itu.

"Jangan pernah temui aku lagi."

"Kamu sudah menikah?" Suara Bintang terdengar gemetar mengucapkan kalimat tanya tersebut.

Bulan mengangguk lemah. "Aku perempuan bersuami. Dan juga seorang Ibu." Suara Bulan melemah. "Pergilah, seperti lima tahun lalu. Anggap hari ini kita tidak pernah bertemu."

"Bunn.. Bundaaa.." Suara seorang anak laki-laki begitu bersemangat menghampiri Bulan dan Bintang.

Bintang sama sekali tidak mendengar perkataan Bulan. Dia lebih dulu menghampiri anak kecil yang sedari tadi memanggil Bulan dengan sebutan Bunda. Dari ranselnya, Bintang mengeluarkan sebungkus coklat. Makanan yang selalu ada menemaninya.

"Mau coklat?" Tawar Bintang sambil berjongkok, ketika langkah anak itu sebentar lagi menjangkau tubuh Bulan.

Anak itu menggelengkan kepalanya, lalu menatap Bulan. "Kata Bunda, nggak boleh terima makanan dari orang lain."

"Oh iya, kita belum kenalan. Nama om, Bintang. Nama kamu siapa?" Tanya Bintang dengan senyum merekah.

"Hmmm,,, Nama aku, Bumi." Jawab anak itu dengan bangga.

Bintang langsung tersenyum ke arah Bulan. Bumi, nama itu begitu melekat pada kenangan masa lalu mereka.

"Bumi, ayo nak. Jangan ganggu, Bunda. Kita mandi dulu ya." Mbok Mirna memegang lengan Bumi, mengajaknya pulang.

Bumi menggeleng, "Mau sama Bunda..." Jawabnya sambil melepaskan pegangan tangan Mbok Mirna dan beralih kepada Bulan.

"Ini Mbok Mirna ya?" Tanya Bintang berusaha mengenali wanita yang sudah berumur tersebut.

Mbok Mirna mengangguk sopan. "Kok Aden bisa tahu nama Mbok?"

Bintang tertawa. Bagaimana dia bisa melupakan sosok wanita, yang dulu sering kali menjadi saksi kenakalan yang mereka lakukan. "Aku Bintang, Mbok." Kata Bintang sambil mencium tangan kanan Mbok Mirna.

Ada keharuan di sana, Mbok Mirna menitikan air mata saat Bintang mencium punggung tangannya. Lalu pandangannya beralih pada Bulan. Sosok anak majikannya yang dia rawat sejak kecil dan juga menjadi saksi fase hidup yang di alami Bulan.

"Makasih ya, Den masih inget sama Mbok." Kata Mbok Mirna. "Ya sudah kalau begitu, Mbok pamit duluan kerumah."

"Kita bareng aja, Mbok. Aku juga mau pulang." Sahut Bulan sambil menggendong Bumi.

Bintang menatap Bulan. Dia masih belum puas dengan percakapan mereka. Baginya ini belum selesai. Belum ketika dia mendapatkan Bulan menjadi miliknya.

Langit MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang