Part 3

777 58 7
                                    

   Semuanya telah diputuskan. Segala persiapan yang serba sederhana karena rencana dadakan tetap dipersiapkan secara tersusun dan rapi. Meski sederhana dan hanya melibatkan keluarga dekat dan tetangga sekitar, akad nikah yang dilangsungkan di kediaman Pakde Fauzan, tetaplah sebuah acara sakral yang akan ikut mengukir sejarah dalam kehidupan Anin kelak.

Bukan hanya perihal finansial, namun juga mental. Siap tidak siap, mau tidak mau, Anin sebentar lagi akan merubah statusnya. Ia akan menjadi seorang istri dan siap mengabdi pada sang suami. Setia mendampingi Arka dalam keadaan apapun.

Anin hanya berharap, keputusan yang diambilnya tidak salah. Ia tidak mau menjadikan pernikahan sebagai sebuah ajang coba-coba. Meski sekarang rasa cinta itu belum bisa dirasakannya, namun Anin yakin ... suatu saat, baik Arka maupun dirinya akan mampu menjalani hari-hari seperti pasangan suami istri pada umumnya. Allah pasti akan memberikan jalan keluar beserta caranya pada Anin pun Arka. Anin percaya, seiring berjalannya waktu, benih-benih cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Yang dibutuhkan hanyalah usaha, sabar, dan ikhtiar.

Semoga ini semua merupakan awal yang baik, yang akan menuntun Anin menuju Jannah-Nya. Membimbing Anin meraih keridhoan-Nya. Menghantarkan Anin meraih kebahagiaannya. Mengajarkan Anin untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa nantinya.

Gugup. Itulah yang Anin rasakan saat lima menit lagi acara ijab qabul akan dilaksanakan. Berbagai pikiran dari yang baik ke yang buruk memenuhi kepalanya. Rasa khawatir pun memenuhi benaknya. Takut-takut ada hambatan besar yang akan menghancurkan semuanya.

Anin merasa ini semua seperti mimpi. Sungguh, tidak pernah sekali pun terlintas di benaknya akan menikah dengan seseorang yang belum dikenalnya. Namun, siapa yang bisa menebak takdir?

Satu hal yang terus Anin mantapkan dalam hati. Jika Arka benar jodoh yang dikirim Allah untuk melengkapi separuh agamanya, yang akan menjadi imamnya dunia akhirat. Semoga saja semuanya dipermudah dan dilancarkan oleh Sang Maha Kuasa.

"Ananda Adibrata Arka Bagaskara bin Abimayu Damar Bagaskara. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri kami, Anindya Fauziah binti Didin Ahmad Nashrudin dengan seperangkat alat sholat beserta mas kawin berupa cincin emas, dibayar tunai!"

Deg!

Jantung Anin langsung berpacu kuat saat suara pak penghulu menggema mengucapkan ijab. Jemarinya bertautan dengan bibir yang terus merapal istighfar.

"Saya terima nikah dan kawinnya Anindya Fauziah binti Didin Ahmad Nashrudin dengan mas kawin tersebut, tunai!"

Setetes cairan bening lolos dari pelupuk mata Anin. Tubuhnya langsung direngkuh Budhe Rizka yang juga turut menangis haru. Budhe Rizka juga merasa ini semua begitu cepat. Keponakannya yang dulu sewaktu kecil selalu merengek ikut bersamanya jika dia ingin pulang dari rumah adiknya itu, kini sudah tumbuh dewasa. Anin kecil telah bermetamorfosis menjadi seorang wanita dewasa yang kini sudah menjabat sebagai istri dari seorang laki-laki. Sebagai bibi, Budhe Rizka tentulah mendoakan segala hal yang terbaik untuk keponakan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri itu. Budhe Rizka berharap jika Arka bisa menjaga Anin dengan sebaik mungkin. Memperlakukan Anin dengan seharusnya.

"Selamat, ya, nak ...."

"Budhe ...." Anin terisak di dalam dekapan Budhe Rizka.

***

   Awkward. Satu kata yang menggambarkan keadaan antara Arka dan Anin yang tengah terjebak di dalam sebuah ruangan bernama kamar. Ruangan yang sebelumnya merupakan milik Anin itu telah disulap menjadi kamar pengantin. Semerbak harum bunga mawar menambah kesan jika dua insan yang tengah duduk di tempat berbeda itu merupakan pasangan pengantin baru.

Tapi, yang terjadi sejak Arka dan Anin izin masuk ke dalam kamar untuk istrahat malah membuat keduanya bingung sendiri. Tempat tidur milik Anin lumayan sempit untuk ditiduri dua orang sekaligus. Mungkin cukup, tapi tubuh mereka akan berdempetan. Kamar Anin ini pun tidak seperti kamar Arka yang memiliki sofa empuk, yang mungkin bisa menjadi alternatif bagi Arka. Setidaknya, Arka bisa tidur di sofa. Tapi, di kamar Anin benda seperti itu tidak ada. Yang ada hanyalah sebuah kursi yang sebelumnya digunakan Anin untuk membaca atau sekadar bersantai di depan jendela kamarnya. Dan itu pun sama sekali tidak empuk. Badan Arka bisa sakit jika tidur di kursi itu.

"Hm ... Mas tidur saja di kasur, biar Anin yang tidur di kursi," ucap Anin membuka suara. Ia memberikan sebuah tawaran pada Arka.

Kepala Arka langsung menggeleng tegas. Biar dikata dia tidak mencintai Anin, tetap saja Anin itu perempuan dan dia laki-laki. Masa iya dia membiarkan seorang perempuan tidur di kursi sedangkan dia dengan nyamannya tidur di kasur?

"Saya saja yang tidur di kursi," bantahnya.

"Tapi, Mas sudah menjadi suami Anin, bagaimana bisa Anin membiarkan suami Anin merasa tidak nyaman?" Anin berkata demikian tidak lain karena tidak ingin mendapat dosa. Apalagi ini merupakan hari pertamanya menjadi seorang istri, masa iya sudah harus mendapatkan dosa karena tidak melayani suami dengan baik? Kan, tidak lucu.

"Dan kamu istri saya sekarang. Saya tidak mau dicap sebagai suami yang dzholim pada istri nantinya," sahut Arka.

"Tapi Anin yakin, Mas pasti tidak akan nyaman tidur di kursi." Anin kembali membantah.

"Dan kamu juga tidak akan merasa nyaman jika tidur di kursi."

Keduanya sama-sama ingin segera tidur sebenarnya. Tapi, tentulah keduanya juga ingin tidur di tempat yang nyaman. Tubuh mereka sudah cukup lelah, kasur empuk setidaknya akan memberikan sedikit rasa nyaman pada tubuh mereka. Namun, ego mereka terlalu tinggi.

"Mas, Anin sudah ngantuk!" Matanya sudah sangat berat saat ini. Tapi, untuk membiarkan Arka tidur di kursi rasanya sangat tidak wajar. Malahan kurang ajar yang ada.

"Ya sudah tidur. Gitu aja susah."

"Tapi, Anin nggak bisa biarin Mas tidur di kursi!"

"Sudah tidak apa-apa."

"Tapi---"

"Apa?" sela Arka menatap Anin tajam. Matanya juga sudah sangat berat. Tapi, Arka ragu jika dia bisa tidur nyenyak di atas kursi. "Sudahlah. Saya ngantuk." Setelahnya, Arka langsung membaringkan tubuh di atas kursi yang memang bentuknya memanjang itu. Tidak lama, dia sudah benar-benar terlelap.

Anin menatap Arka lamat-lamat. Ia jadi merasa tidak tega. Kasihan Arka. Laki-laki itu pasti sangat kelelahan. Sejak pembicaraan singkat mereka tempo lalu, Arka benar-benar menunjukkan jika dirinya serius. Hampir semua persiapan pernikahan dia yang mengurusnya. Belum lagi pekerjaan laki-laki itu. Arka saja baru kembali datang ke Surabaya dari Jakarta kemarin. Itu pun tidak ada istirahatnya. Ia langsung ikut mempersiapan segala itu ini yang masih kurang.

Kenapa sekarang Anin malah merasa jika Arka benar-benar serius ingin menikahinya?

Ataukah ....?

Sudahlah.

*****

Sungai Raya Kepulauan, Kamis 20 Februari 2020

Bahtera Cinta (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora