Part 6

742 59 3
                                    

   "Kamu kira aku nggak capek?!"

Arka memejamkan mata. Tangannya mengepal kuat saat tidak lama setelah sahutan dari kakak ipar yang menggema, tangis Ridha terdengar di rungunya. Ia melirik ke arah Anin yang masih menatapnya dengan tatapan bertanya. Dihembuskannya napas kasar sebelum beranjak keluar.

Anin mengikuti dari belakang dan berhenti di ambang pintu kamar. Netranya langsung menangkap pemandangan di mana kakak iparnya yang sedang bersitegang dengan sang istri. Tidak jauh dari mereka, berdiri gadis kecil dengan tubuh yang gemetaran dan juga wajah yang telah basah oleh air mata. Bibirnya meraung, meminta kedua orang dewasa itu untuk berhenti saling meninggikan suara. Kondisi gadis kecil itu terlihat sangat miris. Di usianya yang masih sangat dini, ia harus menyaksikan pertengkaran kedua orangtuanya. Sungguh kasihan.

Anin lantas mengamati gerak gerik Arka yang kini sudah menggendong gadis kecil yang diketahui Anin merupakan anak dari kakak iparnya.

"Otak kalian nggak dipakek, ya?" Anin dapat melihat sorot tajam yang dilemparkan Arka. Rahangnya mengetat. Nampak sekali, jika laki-laki itu tengah menahan emosi. "Udah gue bilang, kalau mau bertengkar itu jangan di depan Ridha! Kasihan dia!" Setelah melontarkan kalimat bernada teguran itu, Arka berbalik dan masuk kembali ke dalam kamarnya. Diikuti oleh Anin kemudian.

Ridha masih terus menangis dalam pelukan Arka. Anin memperhatikan saja awalnya, sebelum akhirnya mendekat dan duduk di samping sang suami dan keponakannya.

Tangannya bergerak mengusap kepala Ridha dengan lembut. "Halo cantik," sapanya ramah. Berusaha mengubah aura di kamar itu menjadi berwarna. Tidak lagi kelabu, oleh rintikan air mata.

Ridha melepas pelukannya pada Arka dan berbalik menatap Anin bingung. "Ante capa? hiks," tanyanya yang masih sedikit sesegukan.

"Nama Tante, Anin. Tante--" Netra Anin menatap Arka yang juga tengah menatapnya, sebelum melanjutkan ucapannya, "istrinya Om Arka."

Mata si kecil Ridha mengerjap lucu. "Tayak Mama cama Papa?" tanyanya polos.

Anin mengangguk. "Iya. Kayak Mama sama Papanya Ridha," jawab Anin.

Arka diam-diam tersenyum. Ia memilih diam dan memperhatikan interaksi antara istri dan keponakannya. Mereka nampak sangat akrab. Padahal, ini kali kedua mereka bertemu. Hanya saja, pada pertemuan pertama, Anin hanya tahu Ridha sebagai anak dari kakak iparnya. Ia tidak terlalu fokus saat itu. Jadi, terkesan tidak hirau pada sekitarnya. Mungkin karena itu juga, Ridha belum mengenalnya.

"Belalti, Om cama Ante beltengkal telus dong nanti?" Pertanyaan polos yang meluncur bebas dari bibir mungil Ridha barusan membuat Anin terhenyak. Sesering apa sebenarnya kakak iparnya saling bertengkar di depan anak mereka? Bibir Anin bahkan sampai terbungkam dibuat oleh si kecil Ridha.

"Nggak dong sayang ... kan, Om sayang sama Tante. Jadi, nggak bertengkar." Arka segera menyahut saat melihat Anin yang sepertinya kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan dari Ridha. Istrinya itu tentu sedikit shock mendengar pertanyaan tidak terduga dari bibir Ridha.

"Belalti, Papa tak cayang Mama, dong? Matanya beltengkal telus. Benel ndak, Om?" Jika tadi Anin yang dibuat speechless, maka sekarang giliran Arka pula.

Mereka berdua saling melempar pandang. Tidak menyangka anak sekecil Ridha bisa melontarkan pertanyaan seperti itu. Benar-benar di luar dugaan. Nyaris tidak terbayangkan.

"Ekhem!" Anin berdehem. "Ridha mau Tante dongengin nggak?" Anin merasa harus segera mengalihkan topik pembicaraan. Bisa bahaya, jika dia dan Arka nanti salah-salah berbicara.

Beruntung si kecil Ridha langsung mengangguk. Bola matanya pun memancarkan binar bahagia. "Mauuuuu!!!" serunya.

"Okay. Kalau mau, Ridha baring sini deket Tante." Tangan Anin menepuk-nepuk kasur. Mengisyaratkan agar Ridha berbaring di sampingnya.

Dengan patuh, Ridha merangkak menuju sisi yang dimaksud Anin. Lantas, berbaring. Sedangkan Anin beranjak menuju kopernya. Jika tidak salah ingat, ia turut membawa pelbagai buku. Dari buku dongeng anak yang selalu dibelikan orangtuanya semenjak ia masih kecil sampai buku-buku novel yang dibelinya seminggu sekali sejak duduk di bangku putih abu-abu. Semoga saja benar, buku yang dimaksudnya ada. Anin tidak mau menghadirkan gurat kekecewaan pada wajah lugu nan lucu itu.

Arka mengulas senyum samar. Menurutnya, Anin bahkan lebih layak, jika harus menjadi seorang ibu dibandingkan kakak iparnya yang begitu sibuk dengan dunia luarnya, sehingga menelantarkan anak dan suami.

***

   "Sesering apa Abang sama Kakak bertengkar?" tanya Anin pada Arka. Namun, fokus pandangannya pada ranjang Arka. Yang di atasnya, tengah tertidur pulas dan nyaman seorang gadis kecil dengan boneka panda dalam dekapannya.

"Hampir setiap bertatap wajah barangkali," jawab Arka santai.

Anin menatap serius Arka. Dia baru menyadari satu hal. "Karena ini, Mas sebenarnya nggak mau kita pulang ke sini?" tanya Anin.

"Ya. Bosan aja dengerin mereka bertengkar. Muak."

"Mereka dijodohin?" tanya Anin lagi. Mungkin saja kakak iparnya itu menikah karena dijodohkan. Seperti dia dan Arka. Oleh karena itu, mereka tidak pernah cocok sampai sekarang.

"MBA. Sebelumnya, mereka berdua tuh bersahabat. Dan Kak Dara pada saat itu akan melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya seminggu kemudian, sebelum akhirnya bertemu dengan Abang dalam keadaan tidak sadar, akibat pengaruh alkohol. Alhasil ya begitu. You know kelanjutannya."

Anin terdiam. Dia sama sekali tidak menyangka.

***

   Malam berarak. Tahta sang surya digantikan oleh sang penguasa malam. Lampu-lampu mulai menyala, menggantikan sinar matahari. Menyinari pekatnya malam yang meski sudah disinari oleh terangnya bulan, tetap saja kepekatannya tidak bisa dielakkan.

Ruang makan telah terisi oleh anggota keluarga. Meja makan dipenuhi sajian pelbagai lauk-pauk. Membangkitkan selera makan. Menggugah diri untuk mencicipi satu per satu menu makanan. Bahkan, nyaris membuat saliva menetes.

Anin disergap rasa gugup saat dirinya berada di tengah-tengah anggota keluarga Bagaskara. Apalagi setelah perang dunia antara Andri dan Dara.

"Ayo, makan. Anin ... makan yang banyak, jangan sungkan-sungkan," seru ibu mertuanya dengan ulasan senyum ramah.

"Kamu itu udah jadi bagian dari keluarga Bagaskara. Jadi, jangan merasa canggung lagi," timpal ayah mertuanya.

Anin mengangguk sambil mengulas senyuman tipis. Tangannya bergerak mengambil piring Arka dan menyendokkan nasi.

"Ini mau?" tanya Anin.

"Arka tuh makan apa aja. Asal jangan kamu kasih pare sama petai, dia alergi soalnya," ucap Mami Nuha memberitahu.

Anin tersenyum canggung. Dia memang belum tahu makanan kesukaan Arka. Jadi, masih takut-takut ingin mengambilkan lauk. Takut jika Arka malah tidak suka dengan lauk yang dipilihnya. Jadi, lebih baik bertanya. Bukankah ada pepatah yang mengatakan, malu bertanya sesat di jalan? Dan Anin tidak mau sampai sesat di jalan.

"Makasih," ucap Arka singkat saat Anin menyodorkan piring yang sudah lengkap terisi dengan nasi dan kawan-kawannya.

*****

Sungai Raya Kepulauan, Minggu 1 Maret 2020

Bahtera Cinta (END)Onde histórias criam vida. Descubra agora