Part 23

819 60 2
                                    

   "Mas," panggil Anin dari lantai atas saat melihat Arka yang sepertinya akan kembali ke ruang kerjanya. Mungkin tamu suaminya tadi sudah pulang.

Langkah Arka terhenti. Ia menaikkan sebelah alisnya, menatap bertanya ke arah Anin.

Anin memejamkan matanya sejenak. Berusaha menghalau rasa pusing dan mual yang sejak tadi tidak juga enyah. Kakinya perlahan melangkah menuruni satu per satu anak tangga.

Arka memilih menunggu sambil netranya memperhatikan gerak-gerik Anin. Keningnya sedikit mengernyit saat setelah melihat dengan seksama, tubuh Anin lebih berisi. Apakah pertengkaran mereka membuat nafsu makan Anin bertambah? Oh ayolah, bahkan Arka saja sering lupa, apakah dirinya sudah makan atau belum.

Tangan Anin memegang erat pegangan tangga. Tinggal lima anak tangga lagi. Tapi, kepalanya sudah tidak bisa diajak berkompromi.

Mata Arka terbelalak saat kaki Anin tidak menapak dengan benar. "Anin, awas--"

"Aaaaa!!!" Terlambat. Wanita itu sudah terpeleset, meluncur jatuh ke lantai. Menimbulkan bunyi yang cukup nyaring berikut ringisan yang keluar dari mulut Anin.

Dengan gerakan cepat Arka menghampiri Anin yang mengerang kesakitan sambil tangannya memegangi … perut? Mata Arka beralih pada kaki Anin yang … berdarah. Astaga! Dengan cepat, tanpa berbasa-basi lagi, Arka membopong tubuh tidak berdaya Anin ke mobilnya. Meminta satpam yang menyetir. Pikirannya sudah tidak lagi bisa fokus melihat kondisi Anin saat ini. Tangannya bahkan sampai gemetaran.

Sepanjang perjalanan, Anin terus merintih. Bahkan ia sampai meneteskan air mata saking luar biasa sakit yang dirasakannya. Tangannya mencengkram kuat kaus sang suami. Sebelah tangannya yang berada di perut, digenggam oleh Arka. Berkali-kali laki-laki itu mengecup tangan maupun keningnya. Membisikkan kalimat-kalimat agar dirinya terus tersadar, jangan sampai pingsan. Di tengah rasa sakit yang menderanya, Anin dapat melihat sorot kekhawatiran yang terpancar jelas di manik mata Arka.

"Maafin Anin," lirihnya sambil menatap Arka.

Kepala Arka menggeleng, "ini salahku, aku yang minta maaf." Lantas, Arka kembali mengecup kening sang istri. Dalam hati, ia melirihkan doa-doa agar istrinya tetap baik-baik saja. Arka tidak bisa membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Kemungkinan yang tadi sempat ia tarik ketika melihat darah mengalir di kaki sang istri.

Arka begitu takut. Dia merasa jika ini teguran dari Tuhan, karena sudah berani menelantarkan sang istri. Tuhan pasti sangat marah padanya. Arka merasa sangat berdosa. Anin tanggung jawabnya, tapi apa yang dilakukannya sebulan belakangan ini?

"Cepetan, Pak!" Beberapa kali Arka mengumpat kasar, melihat jalanan yang begitu padat. Tidak ada celah bagi mobil mereka untuk merayap dengan mulus. Jika Arka punya kekuatan super, sudah dipastikan semua mobil itu akan diangkat dan ditepikannya agar bisa memberikan jalan untuk mobil mereka segera sampai ke rumah sakit. Tapi sayangnya, itu hanya angan para bocah.

Arka menoleh kembali ke arah Anin saat merasakan usapan di tangannya. Istrinya itu tengah tersenyum. Bahkan di saat kondisinya kritis sekalipun, Anin masih bisa tersenyum. "Banyakin istighfar, Mas."

Arka langsung beristighfar. Dia begitu panik. Apalagi melihat darah yang merembes di rok Anin. Dia tentu tahu, jika itu bukan darah menstruasi.

***

   Sejak Anin dipindahkan ke ruang rawat inap, sama sekali Arka tidak melepaskan genggaman tangannya. Matanya pun tidak lepas dari wajah Anin yang pucat. Wanita itu nampak damai dengan mata terpejam.

Entah Arka harus merasa senang atau sedih saat ini. Dia senang saat dokter tadi mengabarkan kalau istrinya tengah mengandung. Tapi, saat mendengar Anin nyaris saja keguguran, tubuhnya melemas secara otomatis.

Kandungan Anin lumayan cukup lemah. Dan salah satu pemicu sampai tadi Anin bisa pendarahan ialah benturan yang cukup keras yang diakibatkan Anin jatuh dari tangga. Juga, terlalu kelelahan dan stress.

Arka semakin merasa bersalah. Pasti istrinya itu memikirkan masalah di antara mereka. Arka benar-benar merutuki dirinya yang begitu egois, sampai-sampai hampir mencelakai Anin dan … calon anak mereka. Sungguh, jika terjadi sesuatu pada Anin atau calon anak mereka, Arka tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.

"Sayang … bangun ...." Arka mengecup punggung tangan Anin. Setetes bulir bening lolos dari sudut matanya. Tidak bisa Arka bayangkan, jika dia harus kehilangan Anin.

***

   "Satu suapan lagi, ya." Kembali, Arka membujuk Anin untuk membuka mulutnya. Menerima suapan dari Arka.

Namun, kepala wanita itu tetap menggeleng. "Udah kenyang, Mas. Lagian, buburnya nggak enak." Dan rengekan itu yang kembali Arka dengar.

Di sofa tidak jauh dari mereka, Mami Nuha mengulum senyum melihat Arka yang nampak sudah putus asa.

Mami Nuha tadi mendapat pesan dari Arka, kalau Anin jatuh dari tangga dan sedang dirawat di rumah sakit. Tentu saja, wanita dua anak itu kaget dan langsung meminta supir pribadi mengantarkannya ke rumah sakit.

Namun, kekhawatiran Mami Nuha berangsur hilang tergantikan rasa bahagia ketika mendengar jika menantu kesayangannya tengah hamil.

"Okay-okay, sekarang kamu maunya apa, hm?" Arka memilih bertanya pada sang istri, apa yang sedang ingin dimakannya. Mengalah lebih baik, daripada Anin harus kelaparan yang nantinya akan berakibat pada anak mereka.

"Hm ...." Anin nampak berpikir. "Nasi padang kayaknya enak deh, Mas."

Arka mengernyit tidak setuju. "Kamu lagi sakit sayang, makan yang seharusnya aja." Hembusan napas pelan keluar dari mulut Arka. Berusaha sabar dengan tingkah istrinya.

Bibir Anin mengerucut. "Tadi nanya mau makan apa, giliran dijawab malah bikin alibi aku sakit! Dasar!"

Arka sedikit canggung sebenarnya. Hampir sebulan terlibat perang dingin, membuatnya bingung harus bersikap bagaimana. Sedikit was-was juga, takut Anin kembali mendiamkannya. Kembali? Ah, Arka merasa sedikit keliru. Bukankah dirinya yang pertama kali mengibarkan bendera perang?

"Sayang … yang sabar, ya. Nanti, kalau Bunda udah boleh keluar dari rumah sakit, kita cari Ayah baru yang mau nurutin kemauan kamu."

Arka langsung melotot mendengar Anin yang seolah tengah berbicara dengan calon anak mereka. "Apaan ayah baru?! Jangan ngomong yang aneh-aneh deh, Nin."

Anin hanya mencibir pelan, menanggapi Arka yang langsung berkata ketus. Dasar suaminya itu. Anin baru tahu, kalau Arka ini tipe laki-laki yang tingkat kecemburuannya sungguh na'udzubillah. Apalagi dengan laki-laki bernama Ardan yang berstatus sebagai mantan pacar Anin, sepupu Arka sekaligus suami dari sahabat Anin. Laki-laki itu bisa sangat menyeramkan.

"Yaa habisnya, kamu nggak mau nurutin ngidamnya aku. Iya, kan, sayang?" Anin meminta dukungan dari sang anak.

Mami Nuha sudah cekikikan melihat perdebatan di antara keduanya. "Udahlah, Ka. Coba kamu tanyain aja ke dokter, boleh nggak Anin makan nasi padang."

Arka mengangguk dan menitipkan Anin pada maminya sebelum keluar.

*****

Sungai Raya Kepulauan, Rabu 29 April 2020

Bahtera Cinta (END)Where stories live. Discover now