enam belas; makan-makan

3.3K 469 41
                                    


Resya dan Yaya berjalan bersama menuju ke lapangan dimana para pemain sedang istirahat. Pertandingan dimenangkan oleh kelasnya Janu dengan skor 3:1. Sudah dibilang kan kalau kelasnya Resya itu tak ahli.

Kedua tim istirahat bersama dengan berbagi minuman yang dibelikan menggunakan patungan uang kas. Daripada sendiri-sendiri, kan bersama lebih baik.

“Chandra cemen banget sih, ngalahin Haje aja ga bisa,” sindir Yaya.

“Weh, coba aja lo kalahin Haje kalo bisa. Gue bayar lima ratus ribu kredit.”

“Gini nih, oknum kayak Yaya ini yang biasanya bikin berseteru. Kitanya damai, tapi mulutnya dia bisa ngobrak-abrik perdamaian,” ucap Haje.

Bagaimana tidak berpendapat seperti itu, yang main saja kalem soal menang-kalah. Lah, kok Yaya yang hanya penonton malah rusuh sendiri. Beruntung saja tadi tak ada adegan adu mulut sampai jambak-jambakan seperti Resya waktu itu.

“Dasar ya lo berdua ga ngasih tau gue kalo ada sparing,” ungkap Resya yang masih kesal. Ia seperti tak dianggap.

“Ehe, sorry, Rey. Abisnya grup sepi sih, ya gue kira lo udah tau.”

Sudahlah, Resya ini bukan anak-anak lagi. Tak seharusnya ia marah karena hal semacam ini. Disudahi saja, toh ia juga menonton walaupun tidak satu episode penuh.

“Lo tau kita sparing dari siapa, Rey?” tanya Chandra.

“Janu.”

“Widih. Terima kasih kepada bapak ketua karena sudah memberitahukan kepada istri tua saya bahwa saya sedang sparing futsal.”

Perkataan Haje sukses mendapat lemparan gelas air mineral bekas dari Resya. Kalau ngomong suka seenaknya sendiri.

“Makan-makan yuk, gue yang traktir,” ajak Jeno. “Biar kelas kita makin akrab.”

Gaskeun!”

“Sikaatt. Gue maju paling depan.”

Kalau urusan perut saja semuanya maju. Tapi tak apa sih, lumayan dapat makan gratis. Kapan lagi ditraktir gini, mana secara cuma-cuma. Jeno keserempet angin apa ya kok bisa baik banget.

“Duit banyak, Jen?” tanya Janu.

“Traktir ga harus pas punya duit banyak, Nu. Emang guenya yang lagi ada rezeki, niat juga, ga ada salahnya kan.”

“Halal ga duitnya?! Ntar duit hasil judi lagi,” ujar Rendy tak yakin.

“Halal lah, Ren, gue ga pernah judi btw,” ungkap Jeno.

“Masalah duit biar dipikirin Jeno, kan dia yang ngide. Kita nikmatin aja ye gak,” tambah Chandra.

Untuk mempersingkat waktu supaya nanti kalau pulang tidak kemalaman juga, mereka memilih untuk langsung berangkat saja. Yang pemain futsal berganti baju terlebih dahulu baru menyusul lainnya yang menunggu di parkiran. Kalau Jeno-nya saja belum ada, mereka mau berangkat kemana?!

“Lo ga bawa motor, Rey?” tanya Yaya.

“Enggak. Motor gue dipinjem sama bang Lukas.”

“Terus lo kesini?”

“Bareng sama Janu.”

“Sekarang, kita udah ga naik motor sendiri-sendiri ya. Udah ada yang bisa diboncengin. Tinggal nunggu Haje aja kapan jok belakang motornya diisi.”

Resya menatap Yaya dengan pandangan bingung. Ngomong apa sih, kayak lagi kumur. “Haje tuh ga pernah sendirian naik motor. Setan-setan di jalan dia tawarin balik bareng.”

mas ketos; end Where stories live. Discover now