Bab 1 - Abby si Chubby (Rangga POV)

53 7 9
                                    

Keretek ... keretek ....

Saat gendang telinga mendengar bunyi-bunyian aneh. Seketika kelopak mata gue terbuka. Dan ternyata, seperti yang gue duga.

Dengan daster putih bermotif bunga-bunga merah kecil—kalau enggak terlalu fokus keliatannya kayak bercak darah—rambut panjangnya terurai begitu saja, menambah kesan horor persis di film-film. Kalau aja yang liatnya orang lain atau tamu di rumah gue, mungkin dia bakalan teriak Kunti atau sejenisnya. Untung aja ini gue, gue udah terbiasa dengan pemandangan pagi hari seperti ini.

"Mi ... kan aku udah bilang, jendela kamar aku enggak usah dibuka dulu kalau aku masih tidur," gerutu gue dengan mata setengah terpejam. Masih ngantuk banget. Sumpah!

"Ini sudah siang, Den. Endak sehat kalau tidur sampe jam segini." Umi Kulsum—pembantu gue—ngasih penjelasan, dan mencoba membenarkan kalau perbuatannya itu tidak salah.

Kelopak gue mengerjap-ngerjap. Anehnya, langit di luar sana masih kelihatan gelap. Kulit di jidat gue berusaha keras untuk mengerut, gue lagi mikir. Apa iya yang gue lihat di balik jendela itu cuma fatamorgana?

Sambil menghembuskan napas agak panjang, gue berkata, "Siang di mana? Masih gelap gini."

"Ini sudah jam sepuluh, Den!" Agak nge'gas, si Umi nunjukin jarinya ke arah jam yang nempel di dinding. "Mungkin mau hujan, jadi kelihatannya masih gelap," lanjutnya lagi. Terus dia mondar-mandir di kamar, bukain laci nakas, bahkan sampe ngintip ke dalam selimut yang lagi gue pake.

Ya ampun! Ngapain sih Umi?

Bola mata gue bergerak malas, mencoba melihat ke arah jam dinding tanpa menolehkan wajah. Dan, emang bener. Jarum pendek ada di angka sepuluh, udah lewat dikit malah. Jarum panjangnya ada di angka lima.

Untung nyokap lagi ada urusan kerja di luar kota. Kalau aja dia di rumah, mungkin gue enggak akan selamat. Bisa-bisa begitu buka mata udah ngambang di kolam setelah didorongin dari lantai tiga. Basah kuyup, mabok kaporit, kekenyangan air, dipanggang terik. Masih mujur enggak sampai koid.

Kamar gue itu letaknya pas banget di atas kolam renang, dilengkapi jendela picture full screen. Ditambah lagi balkon kamar gue enggak berpenghalang, cukup geser sedikit udah terbuka lebar jalan menuju kolam sedalam 5 meter yang ada di lantai dua. Susah emang kalo punya nyokap yang mendadak suka jadi ibu tiri. Bayangin, doi tega banget jatuhin gue gitu aja kalau bangun kesiangan. Kejam banget emang. Lagian ngapain juga gue bangun pagi? Kerja juga enggak.

"Umi sudah siapken sarapan di meja makan. Kalau ada yang kurang, nanti Raden panggil saja Umi, ya. Umi mau kerja lagi. Bisa beku lama-lama di kamar Raden, kadhemen¹ banget." Setelah ngomong panjang kali lebar, Umi Kulsum pergi, keluar dari kamar gue. Giginya gemeretak, badannya menggigil kedinginan.

Gue usapkan kedua telapak tangan ke wajah, sedikit dipijatkan, sambil bersihin belek di mata juga. Terus gue sisir-sisir rambut lembut gue pake jari-jari tangan. Ada sesuatu yang bergetar gue rasakan. Dan ternyata ... itu hape gue. Panggilan masuk dari nomer yang enggak dikenal.

Siapa?

Gue tatap layar handphone iPhul 11-12 pro yang udah lumayan lama dibeli itu, sambil mikir siapa gerangan yang menelpon. Enggak mungkin bokap sih yang nelpon, dia lagi di luar negeri. Ini nomernya aja +62, pasti orang Indonesia.

Ragu gue angkat. "Ha-lo!" Jeda sesaat, memunculkan ide yang sesat. "Luwak white kopi?" tanya gue ngaco.

"Halo! Kopi nikmat nyaman di lambung," jawab suara cewek di seberang sana, menimpali guyonan gue. Bikin gue yang rebahan terduduk seketika.

"De-dengan siapa di mana?" tanya gue lagi, masih dengan nada iseng.

"Abby di-di kampus."

Serangga Kepona (Rangga POV)Where stories live. Discover now