Bab 6 - Maaf doang, gitu? (Abby POV)

28 3 4
                                    

Rangga sudah berubah, jauh banget berubah. Perasaan, dulu dia enggak pernah marah-marah. BTW, Aku masih kesal banget sama Wik-Wik! Bahkan setelah berjam-jam berlalu rasanya kekesalanku enggak padam juga. Aku beneran enggak nyangka, kenapa juga Wik-Wik bisa ngomong kayak gitu di depan Chacha. Dia belum pernah ngerasain gimana kalo di saat sulit minta bantuan lalu ditolak. Dasar orang kaya, nyebelin sampe ke tulang! Mending kalo ayam kalasan, enak bumbunya merasuk sampe ke tulang. Nah, kalo Rangga? Haduh, rasanya pengin aku unyel-unyel aja. Meskipun kayaknya aku enggak bakal nyampe, sih, doi tinggi banget kayak galah buat nyolong jambu tetangga. Apa dayaku yang imut ini?

"Maaf."

Aku menghela napas. Barusan adalah isi pesan singkat yang dikirim Wik-Wik. Dia kirim sudah dari siang tadi, tapi karena aku ada kelas beruntun, jadi baru sempat kuperiksa sekarang. Aku bingung, apa cowok emang irit bicara, atau mereka gengsi meminta maaf? Kenapa dari sekian banyak pertanyaan kurang ajarnya Rangga cuma bilang satu kata, maaf? Haruskah aku maafin, atau biarin dulu sampe dia nyesel? Eh, tapi kalo enggak nyesel, rugi aku kehilangan temen holang kaya. Nanti kalau kepepet, siapa yang bayarin SPP? Oh iya, lagian Rangga masih punya utang bekas makan siang Bakmie Ayam Jamurnya Koh Acong tadi.

Jam tangan spongebob milikku sudah menunjukkan pukul delapan malam, akhirnya kuputuskan untuk berpikir sambil keluar dari gedung kampus. Perkuliahan terakhir tadi memakai ruang kelas di lantai yang cukup tinggi, dan apesnya pukul delapan kurang lift sudah dimatikan. Mau enggak mau, akhirnya aku turun lewat tangga darurat. Soal Rangga, kayaknya kumaafin aja deh, soalnya selain harus nagih utang lima puluh ribu, lumayan buat traktir-traktir jajanan. Yah, aku mah apa atuh, kadang beli es cendol aja patungan bertiga. Aku minum kuahnya, lalu dua orang yang lain makan cendol dan es batunya. Sedih, tapi realita mahasiswa.

"Hiks! Hiks! Huhuhu~!"

Belum sampai kakiku menapak di tangga darurat lantai delapan, akan tetapi aku tiba-tiba saja mendengar suara horor nan mistis. Ada suara tangisan, samar-samar. Jujur aku jadi agak takut sekarang, apalagi gedung ini terkenal angker kalau sudah jam delapan lewat. Sial, mana sekarang sudah jam delapan lewat lima!

"Hiks! Hiks! Huhuhu~!"

Lampu-lampu kuning yang berpijar remang membuat bulu kudukku berdiri. Suara itu terdengar lagi, sekarang makin jelas. Kabarnya dulu ada seorang mahasiswi yang lompat dari lantai delapan karena depresi enggak lulus sidang skripsi. Aku benaran merinding disko. Entah dari mana asalnya angin tiba-tiba berembus, dan udara terasa lebih dingi dari sebelumnya.

"Hiks! Hiks! Huhuhu~!"

Demi Tuhan! Suaranya semakin jelas. Rasanya bulu romaku makin merinding disko. Semakin melangkah turun, lampunya malah kedap-kedip. Wahai mahkluk astral, tolong jangan makan aku. Dagingku sedikit dan rasanya pasti enggak enak. Makan Wik-Wik aja yang jelas-jelas barang setengah import. Eh, tapi jangan deh, nanti Wik-Wik juga menghantui aku. Hiks.

Semakin turun, semakin gelap. Tiba-tiba lampu di tangga darurat lantai delapan mati, dan aku jadi ragu untuk turun. Tapi kalau enggak turun sekarang bakal lebih seram lagi. Masa aku harus tidur di lantai sembilan? Mana katanya lantai sembilan pernah jadi tempat pembunuhan masal. Kadang aku heran, ini kampus atau rumah jagal. Kenapa banyak sekali kejadian menakutkan di zaman dulunya.

"Hiks! Hiks! Huhuhu~!"

Baca selengkapnya ....

Silakan klik >>> bluebellsberry <<<

💤💤💤

Senin, 13 April 2020.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 13, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Serangga Kepona (Rangga POV)Where stories live. Discover now