24

129K 12.9K 320
                                    

Jumat (17.34), 28 Februari 2020

------------------------

Nala naik ke ranjang di sebelah Aska. Seperti biasa, berusaha mengabaikan lelaki itu. Menganggap tak ada orang di sana. Biasanya itu bisa membuatnya tidur dengan cepat. Apalagi Aska tak pernah mengajaknya mengobrol di atas ranjang, seolah mengerti perasaan Nala dan berusaha membuatnya nyaman. Hanya di waktu-waktu tertentu saat lelaki itu penasaran akan sesuatu atau memaksa untuk memeluk Nala. Saat itulah Nala akan sulit tidur bahkan terjaga sepanjang malam. Dan sepertinya, malam ini akan menjadi salah satu malam yang akan membuatnya tak bisa memejamkan mata.

Aska yang tengah duduk bersandar di kepala ranjang dengan buku di tangannya langsung mengalihkan perhatian begitu melihat Nala mulai berbaring membelakanginya. Buku ia letakkan di atas nakas namun dia sama sekali tak mengubah posisi duduknya.

"Apa kau sudah bertemu Raffi?"

Pertanyaan Aska membuat Nala menoleh sekilas ke arah lelaki itu. Lalu dia menggeleng seraya kembali membelakangi Aska dan memejamkan mata.

"Oh, sepertinya Raffi ingin aku yang menyampaikannya padamu." Aska sengaja menunggu reaksi Nala. Tapi wanita itu tetap bergeming, membuat kekesalan Aska perlahan naik. "Kata Raffi, rencana kalian gagal karena aku lebih dulu tahu. Jadi dia harap kau tidak repot-repot menunggunya untuk melepaskanmu dariku. Dan omong-omong, mulai besok kau akan kembali diawasi Boy untuk menghindari hal semacam ini lagi."

Aska tersenyum puas melihat tubuh Nala mendadak menegang. Meski dia tak bisa melihat wajah Nala, Aska tahu wanita itu cukup terkejut dengan informasi yang diberikannya. Semoga saja itu cukup membuat Nala berpikir seribu kali untuk membodohinya lain kali.

Jemari Nala meremas sprei dengan kuat setelah ia mendengar ucapan Aska. Rasa sesak di dadanya mulai terasa. Bahkan desakan untuk menangis membuat matanya terasa panas. Namun Nala tetap mempertahankan posisinya. Dia berusaha menelan gumpalan kesedihan yang terasa menyumpal tenggorokannya lalu memejamkan mata.

"Na, kau dengar yang aku bilang, kan?" kening Aska berkerut. Dia jadi ragu Nala mendengarnya karena wanita itu tak bereaksi apapun.

Semakin kesal karena tetap tak mendapat tanggapan, Aska memilih berbaring sangat dekat di belakang Nala hingga dadanya menempel di punggung wanita itu lalu memeluk pinggang Nala dari belakang. Ketegangan kembali terasa memenuhi tubuh Nala. Itu membuat Aska yakin Nala mendengarnya namun memilih diam.

"Kenapa kau terus berusaha lepas dariku saat aku ingin memperbaiki segalanya? Apa aku tidak berhak mendapat maafmu?" Aska berbisik pelan, dengan nada serak penuh emosi yang tidak pernah didengar Nala. "Beri aku kesempatan, Na."

Jemari Nala semakin kuat meremas sprei. Rasanya dia ingin berteriak pada lelaki itu.

Apa kau dulu memberiku kesempatan? Ah, bukan. Yang kuinginkan hanyalah penjelasan. Alasan perlakuan burukmu. Tapi aku tidak pernah mendapatkannya. Hingga kini. Lalu kau ingin aku begitu saja menerima maafmu dan memercayaimu lagi?

Tapi seperti biasa, yang dilakukan Nala hanya diam menelan semuanya sendirian. Bahkan meski dia bisa bicara, Nala ragu dirinya akan mengungkapkan isi hatinya pada Aska.

Ruangan itu mendadak hening setelah kalimat terakhir Aska. Nala menunggu dengan sikap defensif kata-kata apa yang akan dilontarkan lelaki itu selanjutnya. Namun tak ada apapun. Dan meski Aska menempel begitu rapat di punggungnya, perlahan kantuk menyerang Nala. Mungkin karena letih, alam mimpi mulai membuainya. Dan sebelum dia benar-benar terlelap, kecupan ringan terasa lembut di puncak kepalanya dengan kalimat lirih yang Nala pikir berasal dari dunia mimpi.

"Aku mencintaimu, Na."

***

Esoknya Nala sendirian di rumah besar itu. Ah, tidak benar-benar sendirian. Ada banyak pelayan di sana. Dan tentu saja, Boy. Membuat Nala sadar dirinya kembali menjadi tahanan.

Silent Wounds (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang