28

127K 13.8K 1.1K
                                    

Jumat (17.44), 03 April 2020

-----------------------------

Tiga tahun kemudian...

Ruang rapat luas itu hanya diisi dua orang. Dan di antara puluhan kursi di sana, hanya satu kursi yang digunakan. Seorang lelaki dengan setelan jas lengkap tampak duduk dengan malas di ujung meja berbentuk oval itu. Kursinya ditarik sedikit menjauhi meja besar dan bukan menghadap meja, melainkan menghadap seorang lelaki paruh baya yang tengah duduk dengan kaki dilipat ke belakang di lantai.

"Papa tidak pernah melupakanmu," kata lelaki yang duduk di lantai dengan suara memelas. "Papa bahkan tahu dan sengaja membiarkan kamu menikah dengan Nala. Agar hubungan kita tetap terjalin." Perlahan lelaki itu mendongak menatap lelaki yang lebih muda. "Mana ada seorang Ayah yang tidak ingat wajah anaknya kecuali dia amnesia? Wajah kamu tidak banyak berubah sejak remaja. Papa tidak akan pernah lupa."

Aska, lelaki yang duduk di atas kursi dengan sikap bosan dan malas hanya meletakkan siku kirinya di lengan kursi lalu kepalan tangannya menyangga kepala. Sikap itu jelas disengaja. Menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak tertarik dengan segala ucapan lelaki yang mengaku sebagai ayahnya itu.

"Aska, Papa memang bersalah telah menelantarkan kalian. Papa mengaku, memang tidak pernah mencintai Mamamu. Pernikahan kami adalah hasil perjodohan. Lalu saat bertemu Maura, untuk pertama kalinya Papa jatuh cinta. Sampai Papa tidak sadar telah bersikap seperti bajingan dan membuang kalian." Lelaki bernama Handoyo itu mengusap matanya sejenak. "Setelahnya Papa menyesal. Lalu kamu datang melamar Nala. Papa senang. Mungkin itu kesempatan Papa untuk menebus kesalahan. Tapi kamu pura-pura tidak mengenal Papa. Karena itu Papa juga melakukannya. Papa pikir itu pasti yang kamu inginkan."

Aska masih diam, menahan diri untuk tidak menguap. Tidak ada lagi perasaan untuk lelaki di hadapannya. Bahkan sekedar rasa sakit. Aska hanya merasa seperti tengah berhadapan dengan orang asing yang wajahnya terlalu familiar.

"Nak, tolong jangan diam saja. Papa tidak tahu harus bicara apa lagi."

Untuk pertama kalinya sejak beberapa menit lalu, Aska menegakkan tubuh lalu bersikap lebih serius. Namun tatapannya tak kunjung melembut. Dingin bagai es yang membekukan.

"Kau ingin aku bicara?"

Handoyo mengangguk. "Ya, tentu saja."

"Kalau begitu aku ingin mengajukan pertanyaan." Sejenak Aska diam agar suasana semakin tegang. "Kenapa baru sekarang kau datang dan mengakuiku sebagai anak? Kenapa baru sekarang setelah kau kehilangan semua yang kau punya?"

"Papa ingin melakukan ini sejak lama. Tapi selalu ragu karena kau terus pura-pura tidak mengenal Papa. Lalu tiba-tiba kau mengambil semua—"

"Aku tidak mengambil, ingat itu baik-baik. Aku membeli semua asetmu secara legal." Dan secara diam-diam hingga saat kau sadar, kau sudah kehilangan semuanya, imbuh Aska dalam hati.

"I—iya, maksud Papa begitu. Jadi Papa pikir kau memiliki dendam. Pasti ada kesalahpahaman dan merasa harus menjelaskannya padamu."

"Lucu sekali. Aku sudah biasa membeli banyak properti. Kenapa baru kau saja yang berpikir ada kesalahpahaman dan malah membawa masalah pribadi?" Aska berdiri lalu berkacak pinggang. "Ayolah, Pak Han. Coba ingat kau jauh lebih tua dariku. Kenapa kau malah tidak bisa bersikap profesional? Mencampur-adukkan urusan pribadi dan pekerjaan?"

"Papa tahu kau melakukan ini dengan sengaja," lirih Handoyo. "Untuk membalas dendam atas perbuatan Papa di masa lalu."

"Kau salah." Tiba-tiba Aska membungkuk, memegang lengan Handoyo lalu membantunya berdiri. "Aku belajar dari kesalahan di masa lalu untuk tidak mengarahkan dendamku pada orang yang tidak bersalah. Sejujurnya aku hanya membenci Maura dan anaknya. Mereka yang merusak keluarga kita." Aska mendesah lalu mundur selangkah dengan sorot sedih dalam matanya. "Aku akan menerima Papa kembali. Tapi Maura dan Kaila harus menderita hingga mati mengenaskan. Karena itu aku butuh bantuan Papa. Apa Papa sanggup?"

Silent Wounds (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang