Bab 13

88.5K 3K 160
                                    

Henley

Bersikeras tidur di sofa Bennett tampak seperti gagasan yang sempurna di malam sebelumnya, mengingat bagaimana aku hanyalah seseorang yang sedang menumpang di rumahnya saat ini, tetapi kemudian pada pukul enam pagi aku memutuskan bahwa mungkin itu adalah gagasan terburukku. Aku merasa seolah aku belum tidur sama sekali. Bantalnya tidak nyaman dan tubuhku terlalu panjang sehingga aku harus meringkuk untuk menjaga kakiku agar tidak menggantung di lengan sofa. Aku akhirnya memilih untuk bangun supaya tidak perlu lagi berusaha merasa nyaman.

Tepat saat aku bergerak, cahaya dari lorong di atasku menyala. Aku menoleh ke arah balkon dan melihat Bennett tersandung di tangga, kepalanya tertunduk. Dia mengenakan setelan biru tua dan rambutnya basah, sepertinya baru saja keluar dari kamar mandi. Ketika dia sampai di sofa, dia sepertinya memperhatikanku dan aku membeku dengan mataku yang setengah tertutup, berharap dia tidak akan menyadari kalau aku sudah bangun. Setelah satu menit, dia mulai bergerak lagi, kali ini lebih lambat, seolah dia berusaha untuk tidak membangunkanku.

Namun, itu hancur ketika ponselnya mulai berdering. Dia cepat-cepat mencari sakunya dan mengeluarkan ponselnya, mencoba meredam bunyinya dengan tangannya. "Ini masih pukul 6," jawabnya pada penelepon itu dengan bisikan panik.

Aku berbaring dan menguap dengan keras, memberinya isyarat bahwa aku sudah bangun. Aku ingin tahu apakah dia harus segera pergi. Kenapa pula dia sudah bangun dan berpakaian? Apakah aku harus pergi juga? Aku mendorong diriku bangun ke posisi duduk, menjaga selimut tetap melilitku.

"Aku akan ke sana secepatnya, aku harus pergi," kata Bennett setengah mengantuk kepada peneleponnya dan kemudian menjauhkan ponselnya dari telinga. Setelah beberapa saat dia akhirnya berbalik menghadapku, sambil menggaruk alisnya. "Maaf. Aku tidak bermaksud membangunkanmu."

"Aku baik-baik saja," kataku padanya. Sepertinya dialah yang lebih menyesal harus bangun pagi ini daripada aku. Aku dapat menduga kalau dia bukanlah tipe orang yang suka bangun lebih awal.

Ada keheningan sesaat dan dia menggeser tubuhnya. "Apakah tidurmu oke?" dia bertanya.

Apa dia benar-benar berpikir aku sudah selesai dengan tidurku? Ini masih pukul enam pagi dan aku akan cuti kerja hari ini. Jika aku tidak harus meninggalkan rumah ini, aku akan kembali tidur. "Apakah kau akan pergi?" aku justru meresponsnya.

Dia sedikit mengernyit. "Ada masalah dengan salah satu resor yang sedang kami kerjakan, jadi aku harus memeriksanya."

"Apakah kau akan mengantarku ke apartemenku?"

"Tidak. Kau bisa tetap di sini," katanya kepadaku, lalu saat melihat dasinya miring dan dia langsung menyesuaikannya. "Aku tidak keberatan. Aku harap aku bisa kembali lebih cepat nanti."

Aku menggigit bibir bawahku sedikit. Apakah itu wajar jika aku tetap tinggal di rumahnya sendirian? Rasanya bahkan sudah cukup aneh walau dia ada di sini, bagaimana rasanya jika aku sendirian di sini? "Apakah kau yakin?"

"Kau tidak akan mencuri apa pun, kan?"

"Tidak!"

"Kalau begitu aku percaya untuk meninggalkanmu di sini," katanya, menguap lagi. "Kau bisa mandi lagi, jika mau."

Aku harus mengakui, bahwa Jacuzzi miliknyalah yang membuatku akhirnya sepakat. "Baiklah."

Ponselnya berdenting, menandakan sebuah pesan teks dan dia merengut sedikit. "Ugh," gumamnya dan pergi ke dapur.

Aku mengikutinya dengan gerak tatapanku, seraya menarik selimut hingga ke daguku. Mungkin ketika dia pergi aku bisa menggunakan tempat tidurnya daripada sofa ini... aku langsung menggelengkan kepala, melempar tubuhku kembali ke posisi berbaring. Itu akan lebih aneh lagi. Aku bisa bertahan dengan sofanya. Setidaknya sampai aku menemukan tempat untuk tinggal lagi.

Hired to Love (Direkrut untuk Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang