Salah

174 61 51
                                    

Hyunjin termenung, ia masih ingat iris sepekat onyx yang dahulu berhasil menawan hatinya. Mendorong pemuda bermarga Hwang itu untuk meletakkan pantatnya di sebelah sosok manis yang setiap dini hari duduk di bangku taman. Hanya sendirian, sembari menghirup udara bercampur embun.

"Tiara," ucap gadis itu ketika Hyunjin menanyakan nama sang pencuri hatinya di suatu pagi.

Pikir Hyunjin, perempuan itu tampak memiliki kehidupan yang menenangkan dan menyejukkan bagai udara pagi, karena ia selalu melihat seulas senyum di wajah bulatnya. Tanpa sepengetahuan Tiara, Hyunjin selalu mengikuti perempuan itu, kapanpun dan dimanapun, sekedar untuk mengetahui sang gadis lebih dalam.

Di suatu sore, kala awan-awan kelabu menyelimuti permadani langit, Hyunjin merekahkan senyum, karena asumsinya pada kehidupan gadis itu sepenuhnya bertolak belakang. Satu kalimat yang ditulis Tiara di sebuah buku bersampul biru⸺jurnal hariannya⸺akhirnya mampu membuat Hyunjin mengumpulkan segala kekuatannya untuk mengaburkan dimensi ruang.

Tertulis jelas di buku Tiara, "Aku ingin mati."

Hyunjin ingin sekali menyapa, kala gadis itu merasa sendiri. Sayangnya, ia tak bisa, karena ia hanya dapat diindera manusia saat peralihan hari. Mengamati hari-hari yang dilalui perempuan itu dalam gelap selalu membuat dada Hyunjin sesak. Hasrat Hyunjin menguat, tatkala bulir-bulir air mata Tiara tumpah di akhir senja.  Ia ingin segera mengakhiri derita gadis yang disayanginya.

Maka, detik ketika Tiara menyelesaikan kalimat di bukunya, Hyunjin menyentuh bahu gadis itu, kemudian membawanya pergi jauh. Sangat jauh. Hyunjin dapat memastikan, Tiara tidak akan lagi mendengar suara beroktaf tinggi kedua orang tuanya yang saling bersautan sengit dan memudarkan senyum gadis itu.

Kini, Tiara bukan lagi milik kedua orang tua yang hanya menyayat hatinya. Tiara adalah milik Hyunjin, satu diantara ratusan manusia yang ditawan dan diubah serupa dengannya selama ratusan tahun. Namun, kali ini berbeda. Tiara adalah kesukaannya. Mungkin juga adalah cintanya. Meski hingga detik ini, tampaknya cinta Hyunjin masih bertepuk sebelah tangan.

Lihat saja kedua belah pedang berukuran 15 inchi di tangan kanan dan kiri Tiara, bahkan tatapan memicing gadis itu tak kalah tajam dengan bilah pedangnya. Tiara marah, sangat marah, hingga buku-buku jemarinya memutih berkat genggamannya yang terlampau kuat.

"Kembalikan aku!" Pekik Tiara di hadapan Hyunjin sembari menodongkan salah satu pedangnya pada pemuda itu. Sudut manik kemerahan milik perempuan itu telah tergenang air mata. Ia takut.

Hyunjin masih bergeming, menatap lamat-lamat Tiara. Alih-alih merasa terancam, Hyunjin justru kegirangan. Ia menyukai amarah Tiara, karena semasa hidup perempuan itu, ia tak pernah sekalipun berteriak apalagi memberontak. Hyunjin senang sebab Tiara lebih bebas mengekspresikan perasaannya.

Hyunjin kemudian menyeringai, hanya dengan salah satu sudut bibir pemuda itu yang terangkat, Tiara melangkah mundur dan menurunkan pedangnya sedikit. Tiara bergetar. Risau.

"Aku mohon," bujuk Tiara dan menatap sayu.

"Aku tidak akan melepaskanmu," tutur Hyunjin tegas, kemudian tangan kanannya terangkat. Kabut hitam memanjang perlahan muncul, hingga sebuah pedang ramping menyembul di antara selimut kabut itu.

Hyunjin melangkah, kemudian mengayunkan pedangnya pada Tiara. Beruntung, Tiara sigap dan berhasil menangkis dengan kedua pedangnya. Dari tebasan ringan hingga mereka benar-benar bertarung dan saling melayangkan serangan.

Tiara tidak mampu bertahan lama. Kedua pergelangan tangannya lelah dan semakin melemah. Kedua pedang Tiara akhirnya melayang ke udara, kemudian dentingan pedang yang jatuh di atas lantai marmer menggema di seluruh pelataran taman kastil.

Tiara tertohok, membeku di tempat ia berdiri. Ujung pedang Hyunjin hanya berada satu senti untuk mencapai tenggorokan sang gadis. Satu tenggakan ludah saja, mungkin dapat menyayat kulit lehernya. Tiara memejamkan mata, seolah menanti kematian yang sebentar lagi menjemputnya.

"Kau tidak akan mati dua kali, Tiara." Hyunjin berucap rendah sambil menurunkan pedang. Seketika, bilah pedang itu menghilang dari genggaman Hyunjin.

Tiara mengerjapkan mata, masih bergerak hati-hati hingga sorot matanya dengan pemuda Hwang itu bertemu.

"Kau berada di sini,⸺" Hyunjin memberikan jeda pada kalimatnya. "⸺bukan sepenuhnya karena aku."

Tiara terhenyak, perkataan Hyunjin barusan adalah jawaban atas perenungannya selama dua kali bulan purnama di sebuah kamar yang sebelum ini mengurungnya.

"Kau tau itu."

Hyunjin menegaskan dan Tiara secara perlahan kehilangan daya. Tak mungkin apabila dalam benak gadis itu tak sedikitpun terbesit pernyataan bahwa keberadaannya di kastil ini sesungguhnya disebabkan oleh dirinya sendiri.

Pemuda di hadapannya ini adalah sosok yang dahulu sering menemaninya menikmati permulaan hari. Tiara selalu berharap untuk menukar deritanya dengan kekosongan, layaknya keheningan di pagi hari. Pukul empat diantara 24 jam dalam sehari, hanya ketika waktu itu, Tiara dapat sejenak merasakan kedamaian dan mengumpulkan semangat untuk menjalani hidupnya.

Tubuh gadis itu benar-benar melemah begitu mengingat sosok Hyunjin dalam memorinya. Secepat kilat, Hyunjin merengkuh tubuh Tiara sebelum tenaga gadis itu berada di titik nol.

"Tersenyumlah," bisik Hyunjin tepat di cuping Tiara. Tak dipungkiri, Hyunjin merindukan senyum di wajah Tiara.

Mentari tak pernah menaungi langit kastil ini,⸺hanya ada sang dewi penguasa kegelapan⸺maka tak akan ada pagi, siang, ataupun sore. Permulaan hari yang tak pernah ada, pun dengan senyum Tiara yang tak pernah ada sejak menginjakkan kaki dalam kastil.

Hyunjin mengeratkan pelukannya, dapat dirasakannya napas Tiara yang tak beraturan perlahan semakin tenang. Dibelainya surai hitam gadis itu, hingga Tiara terbuai untuk memejamkan matanya. Menyerahkan sepenuhnya berat tubuhnya pada Hyunjin.

"Papa dan mama," gumam Tiara di ceruk leher Hyunjin. "Mereka juga terluka."

Hyunjin mengangguk pelan, membenarkan perkataan Tiara.

"Mengapa hanya aku yang kau bawa?" Tanya Tiara lemah.

Hyunjin terdiam. Perkataan Tiara sekali lagi benar, dia memang hanya dapat membawa manusia-manusia yang terluka dan terjerumus dalam dosa. Gadis seperti Tiara, bukanlah mangsa utamanya. Dia memang terluka, namun tak sedikitpun jatuh dalam dosa.

"Katakan padaku, kenapa kau membawaku?"

Hyunjin yang masih enggan menjawab, lantas mengangkat tubuh Tiara dan membopongnya menuju salah satu bangku taman. Mendudukkan perempuan itu di sana dengan hati-hati, kemudian ia juga turut duduk di sisi Tiara. Hyunjin membiarkan keheningan menemani mereka untuk beberapa saat.

"Sama seperti waktu-waktu itu." Hyunjin memecah keheningan. Tiara jelas tau maksud ucapan Hyunjin.

"Jika saja kau tidak pernah duduk di sana, mungkin aku tidak akan bertemu denganmu. Jika saja aku tidak mengikutimu, mungkin aku tidak akan pernah membawamu, tapi⸺"

Hyunjin sengaja memotong kalimatnya, lalu melihat ke arah Tiara. Tiara pun membalas tatapan itu.

"⸺Jika saja, kau tidak membenci hidupmu ...."

Hyunjin menggantungkan kalimatnya, karena telapak tangan kirinya tiba-tiba digenggam oleh Tiara. Tiara memahami apa yang disampaikan Hyunjin. Sore yang mendung itu, sekali dalam hidupnya, ia mengakui bahwa seorang Tiara membenci hidupnya dan memilih untuk mati. Hyunjin, pemuda itu hanya membantunya.

Tiara bisa saja berpikir seperti itu, tapi Hyunjin lebih tau. Bahkan, pemuda Hwang itu telah mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan hukuman surga atas pelanggarannya. Pelanggaran yang memanfaatkan kerentanan hati manusia untuk memisahkan roh dan raga perempuan itu di luar garis takdirnya.

Namun, pelanggaran itu nyatanya tidak lebih besar dari kesalahannya. Kesalahan yang akan membawanya pada kebinasaan. Bukankah, seorang iblis tidak diperbolehkan mencintai anak manusia?

The end.
06/03/2020

My Lane 2020Onde as histórias ganham vida. Descobre agora