34. Perkelahian

1.2K 108 21
                                    

Cinta itu sederhana, yang rumit itu kamu. Mencintaimu itu mudah, yang sulit adalah membuatmu juga mencintaiku. -From Rumit, langit sore.

***

GABRIELLA menuruni tangga dengan langkah cepat. Rasanya baru kemarin ia merasakan bahagia, lalu sekarang ia harus kembali terluka. Kadang, ia berpikir bahwa takdir tidak pernah adil karena selalu membuatnya terjebak bersama rasa pahit.

Sisa air matanya memang sudah tidak ada. Tapi hal itu tak lantas membuat Kahfi—yang baru saja kembali dari kantin—tidak mengetahui bahwa Gabriella baru saja menangis.

"Ar, lo duluan aja, gue ada urusan." Kahfi menepuk pundak Araya dua kali sebelum meninggalkannya sendiri.

"SOK SIBUK LO!" Teriak Araya kepada Kahfi yang belum jauh darinya yang hanya ditanggapi dengan acungan jari tengah.

Pemuda itu berjalan dengan tergesa karena ia ingin menyusul Gabriella.  Saat jarak mereka sudah dekat, dengan cepat Kahfi meraih tangan Gabriella. Hal itu membuat langkah Gabriella terhenti. Ia berbalik dengan terpaksa.

"Kahfi?" Ujar Gabriella refleks dengan suara sedikit serak.

"Lo habis nangis?" Tanya Kahfi untuk memastikan asumsinya.

Gabriella diam, tidak mengiyakan atau membantah pertanyaan Kahfi. Sehingga Kahfi mengartikannya sebagai jawaban iya—seperti dugaannya. "Ikut gue,"

"Tapi udah bel, Kaf." Tolak Gabriella saat Kahfi sudah menggenggam tangannya dan membawanya pergi.

"Kita bolos aja."

Gabriella yang sedang tidak mood untuk berkelahi dan berdebat akhirnya hanya pasrah. Gadis itu tersenyum samar saat mengetahui Kahfi masih peduli padanya. Ia menatap genggaman tangan mereka, pada saat itu ia tahu, seharusnya ia jatuh cinta kepada Kahfi bukan kepada Aksara. Namun, cinta tidak bisa memilih kepada siapa ia akan berlabuh.

Di bawah pekatnya langit, mereka menerobos gerimis yang perlahan-lahan berubah menjadi deras. Mereka berjalan seirama menuju halaman belakang sekolah. Di sana terdapat gazebo kayu yang baru saja selesai dibangun seminggu yang lalu.

Mereka duduk bersila di sana, iris mata Kahfi meneliti wajah elok Gabriella yang terlihat sayu. Lalu, Ia menemukan bekas air mata yang kering di sudut matanya.

"Aksara kenapa lagi kali ini?" Tanya Kahfi sebagai pembuka perbincangan mereka kali ini.

Gazebo menjadi tempat pilihan mereka karena terletak di halaman belakang yang notabenenya jarang dikunjungi  karena panas—pada saat siang maupun sore hari. Kahfi pun tidak tahu tujuan dibangunnya gazebo di belakang. Karena hari ini hujan, tidak mungkin ada guru piket atau guru bk yang mengecek tempat ini.

Mengenai Gabriella, Kahfi memang sudah menyukai Gabriella sejak satu tahun yang lalu, ketika gadis itu menjadi murid baru dan memilih memperjuangkan Aksara. Kahfi juga tidak tahu, mengapa ia tertarik kepada gadis yang jelas-jelas mencintai sahabatnya.

Sudah satu tahun Kahfi memperjuangkan Gabriella dengan berbagai cara. Ia ingin, suatu hari nanti Gabriella berhenti mencintai Aksara dan membuka hati kepadanya. Namun sampai detik ini, hati Gabriella masih sama—untuk Aksara.

Lantas, ini adalah kesekian kalinya Gabriella menangis karena Aksara lalu bersandar serta bercerita kepada Kahfi. Tidak apa-apa, Kahfi sudah biasa dijadikan tempat pelarian Gabriella saat sedih. Ia juga sudah biasa menahan sakit hati ketika Gabriella bercerita tentang Aksara.

Seminggu yang lalu, ketika berita tentang Gabriella dan Aksara sedang hangat-hangatnya, jangan tanya bagaimana keadaan hati Kahfi. Jawabannya tentu saja tidak baik-baik saja. Bahkan pada saat itu ia sudah hampir menyerah tentang perasaannya—rasanya waktu itu hatinya seperti mati rasa karena ia sudah menerima pilu di setiap waktu.

AKSARAYA✅ [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang