Eight

252 33 3
                                    

Hari pun berlalu tanpa ada artinya. Para pembunuh bayaran dalam rupa gadis-gadis cantik itu menunggu dalam tenang yang mengganggu. Mereka berlagak tak ada apa-apa dalam senyuman atau pun pembicaraan yang kelihatan tak ada hubungannya dengan pekerjaan. Tapi di belakang pikiran mereka sudah terlintas beberapa rencana untuk mengakhiri hidup Miyawaki Sakura.

Sama halnya dengan Chayeon. Lagi-lagi mimpi aneh di malam sebelumnya datang lagi kepadanya. Ia merasa jatuh ke dalam lubang yang tak berujung. Terus jatuh dan tak bisa bersuara atau bergerak. Tapi dalam kejatuhan itu Chaeyeon mendengar suara-suara samar seorang perempuan. Suara itu memerintahkan Chayeon melakukan sesuatu tapi ketika ia bangun tak ada apapun yang bisa ia ingat.

Hal itu membuatnya frustasi sendiri hingga membuat Chaeyeon terpaku menatap langit-langit selama beberapa menit sebelum memutuskan untuk bangkit. Ia selalu mencoba meraba-raba lagi mimpi yang terasa berada tepat di belakang kepalanya. Mimpi yang entah kenapa ia rasa sangat penting namun sangat sulit dipahami.

Kini Chaeyeon sedang sendiri. Menikmati sore di kamarnya tanpa Sakura yang sudah pergi entah kemana. Pemandangan kota dari jendelanya benar-benar menenangkan. Secangkir kopi yang barusan ia buat masih mengepulkan uap putih di atas meja di sampingnya.

Chaeyeon juga merasa sedikit terganggu dengan peraturan itu. Apalagi tentang undiannya. Semua pembunuh yang hadir di sini adalah profesional sepertinya. Ia tahu akan sangat mudah menghabisi gadis serapuh Sakura dalam sekali serang meskipun setelah mengirimkan surat peringatan jika tidak ada apapun yang menghalanginya.

Tunggu. Menghalangi ?

Chaeyeon menyesap kopinya. Merasakan cairan kecoklatan kental itu mengalir di dalam mulut sampai tenggorokannya. Jika memang harus ada undian bisa saja hadiah atas nyawa Sakura jatuh ke pada siapapun yang mendapatkan undian pertama. Itu artinya hadiah Chaeyeon juga akan menghilang.

"Lalu untuk apa aku kesini jika harus dikalahkan oleh undian sialan itu ?!"

Chaeyeon mengeluh kepada dirinya sendiri. Mendengus dengan amarah yang diependam. Ia pun teringat bahwa diantara tiga peraturan itu tidak ada yang menyebutkan kalau tidak boleh menghalangi kerja dari sesama pembunuh. Itu artinya, Chaeyeon boleh saja menghalangi siapapun itu yang dapat undian sebelum dirinya. Apapun cara untuk menghalangi itu bisa saja dilakukan dengan membunuhnya sebelum beraksi.

"Ya, aku harus melakukannya."

~~~

Sakura pergi memutuskan pergi mengelilingi lingkungan sekolahnya. Beberapa anak dari gedung asrama lain ternyata sudah datang atau kembali dari liburannya. Sakura menyapa mereka ketika tak sengaja mereka berpapasan di jalan. Senyuman manisnya tidak pernah lepas dari wajahnya. Memberikan siapapun yang melihat itu kesan bahwa gadis manis ini memang berhati baik.

Namun bayang-bayang hadir di belakangya. Sejak keluar dari asrama Minju sudah mengikuti setiap langkahnya. Mata Minju melihat bagaimana Sakura berjalan, bagaimana ia tersenyum, bagaimana ia akan terduduk sebentar ketika mendapati tanaman atau bunga di taman yang menurutnya menarik. Dalam jarak ini Minju yakin Sakura sama sekali belum menyadari keberadaannya. Maka ia akan terus mendekat dan mendapatkan apapun yang mungkin berguna untuk pekerjaannya nanti.

Minju sendiri penasaran bagaimana bentuk undian itu nantinya. Mungkinkah hanya seperti mengambil sebuah nomor dalam kotak tertutup atau apa. Dia tidak berharap apapun yang berlebihan untuk itu nantinya. Karena ia lebih mengkhawatirkan hal yang lain. Yaitu pembunuh lain yang mungkin akan menghalangi jalan. Karena Minju tidak mendengar adanya larangan tentang itu di aturan yang dibawa Eunbi. Dia juga berpikir itu pasti akan terjadi, karena tidak mungkin mereka akan membiarkan siapapun mendapatkan hadiah atas nyawa Sakura hanya berdasarkan undian. Minju pun tidak akan membiarkan hal itu. Dia juga akan bertindak sebagai penghalang jika siapapun mendapat undian pertama selain dirinya.

Karena pikirannya terlalu fokus terhadap undian itu Minju kehilangan jejak Sakura setelah satu belokan yang kemudian menuntunnya ke persimpangan koridor. Dua jalan tercipta dan Minju tak tahu kemana Sakura menuju. Dia menggaruk kepalanya kemudian berbalik kembali. Minju tidak tahu Sakura bisa menghilang semudah itu.

~~~

Nako lagi-lagi sibuk mengamati cetak biru sekolah ini. Dia menandai beberapa tempat yang mungkin bisa digunakan sebagai tempat paling strategis untuk melakukan rencananya. Pada tempat-tempat itulah Nako akan menempatkan beberapa senjata dan mengambilnya pada waktu yang tepat.

Tentu saja peraturan adalah permasalahannya yang paling besar. Dia hanya menuruti satu peraturan selama ini, yaitu tidak boleh meninggalkan jejak. Tapi kini hal itu harus ditambah dengan tiga aturan lain yang merepotkan. Nako tidak akan terlalu banyak mengeluh karena bidang pekerjaannya bukan tempat yang cocok untuk keluhan.

Nako menatap kearah Wonyoung yang sibuk memoles kukunya. Ia sendiri heran keharusan apa yang dimiliki seorang pembunuh untuk menjaga penampilan kukunya.

"Untuk apa kamu melakukannya ?" tanya Nako.

"Tentu saja untuk membuat kuku kakiku kelihatan cantik." jawab Wonyoung masih sambil terus melakukan kegiatannya.

"Lalu jika kukumu kelihatan cantik apa gunanya untuk pekerjaan ?"

"Tidak ada. Aku hanya suka melakukannya."

"Hah !" Nako mendengus kasar. "Aku tidak habis pikir dengan kelakuanmu."

Wonyoung selesai mengecat kuku terakhirnya dengan warna merah. Dia tersenyum puas sembari merentangkan kaki panjangnya yang terekspos bebas dibawah sinar matahari yang menembus jendela. Wonyoung hanya mengenakan celana pendek dan itu makin menunjukkan bentuk kakinya.

Nako mengerut. Penampakan kaki itu selalu membuatnya kesal dan ia berpikir mungkin saja Nako sengaja menunjukkan kakinya secara terang-terangan seperti ini.

"Hei, bagaimana kalau kita bekerjasama ?" tanya Wonyoung tiba-tiba.

"Apa maksudmu ?"

"Aku punya firasat kalau kita tidak ada salah satu dari kita yang akan mendapatkan giliran pertama. Dan tentunya kamu tidak akan mau menyerahkan hadiahnya kepada siapapun hanya berdasarkan undian, kan ?"

Nako berpikir apa yang dikatakan Wonyoung ada benarnya juga. Undian itu kalau dipikir-pikir memang tidak adil. Dan juga tidak ada aturan yang tidak membolehkan mereka untuk saling menghalangi.

"Kenapa kamu mau bekerjasama ?" tanya Nako.

"Aku pikir akan lebih baik kalau kita bekerjasama karena lawan-lawan kita bukan para amatiran. Setidaknya untuk saat ini."

"Lalu bagaimana jika salah satu diantara kita yang dapat gilirannya ?"

Wonyoung tersenyum. "Tentu saja kita akan saling bermusuhan kembali."

Nako diam dan berpikir. Itu ide yang sebenarnya tidak terlalu buruk. Memang Nako bisa melihat bahwa mereka semua yang datang kesini untuk membunuh Sakura bukanlah amatiran. Mereka punya keahlian yang cukup untuk membuat Nako mundur dan merencanakan tindakan selanjutnya. Dan bekerjasama untuk sementara waktu dengan Wonyoung adalah pilihan yang bagus.

"Baiklah kalau begitu. Kita akan bekerjasama." kata Nako kemudian.

"Baiklah." Wonyoung tersenyum lebar. Dia berjalan untuk meletakkan cat kukunya di meja rias. Dalam pikiran Wonyoung saat ini sebuah rencana telah tercipta. Tentu saja dia tidak akan benar-benar menjalin kerjasama dengan seniornya yang ia benci ini. Dalam momen kelengahannya, Wonyoung akan mengambil kesempatan menghabisinya.

~~~

>>>

TARGETWhere stories live. Discover now