5. Ingin Jadi Petualang

14 8 0
                                    

Sesampainya di depan rumah, aku langsung turun dari motor Esok dan mengembalikan helmnya lalu masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah katapun. Esok pun begitu, tidak mengucapkan apapun selain senyuman yang sedari tadi mengembang dibibirnya.
      
“Rintik, itu kenapa temannya tidak dibawa masuk dulu?” tanya Ibu saat aku menutup pintu.
    
“Biarin, Bu. Dia tidak mau,” jawabku berbohong.
      
Ibu tersenyum lalu menghampiriku. “Masa sih? Tadi Ibu lihat Esok masih di luar nungguin kamu.”
      
Dari mana Ibu tahu dia Esok? “Ibu salah orang, dia bukan Esok,” elakku.
      
“Masa sih?” Ibu terlihat tidak percaya. “Tadi siang, saat dia mengantarkan sepedamu ke rumah, dia bilang dia Esok. Jadi, siapa yang bohong?”
      
Aku mendengus kesal. Seharusnya, aku tidak usah berbohong. “Ck! Iya, dia Esok. Biarin aja dia di luar, bukan urusan Rintik!” kesalku.
      
Ibu masih tersenyum sambil mengelus kepalaku. “Rintik, Ibu tidak pernah mengajarkanmu jahat kepada orang lain. Esok sudah mengajakmu jalan-jalan, seharusnya kamu berterima kasih, bukan seperti ini.” Ibu memberi nasehat.
      
Dari pada menjadi anak durhaka, lebih baik aku menurut saja. Dengan kesal, aku membuka kembali pintu rumah dan berjalan mendekati Esok yang masih duduk di atas motornya dengan senyuman jail.
      
“Mau masuk tidak?” tawarku ketus.
      
Esok tertawa sambil mengelus kepalaku. “Tidak, aku hanya ingin mendengar ucapan selamat malam darimu.”
      
“Lalu kamu bakal menghilang dari semesta ini?”
      
“Rintik,” tegur Ibu yang ternyata berdiri di depan pintu rumah.
      
Aku memutar mataku. “Ya sudah, selamat malam dan terima kasih atas senjanya.”
      
“Kalau kamu suka sama senja, aku akan membawamu ke tempat-tempat yang jauh lebih indah dari Puncak Becici. Kamu akan menikmati senja yang seribu kali lebih indah. Tapi tidak seindah kamu tentunya.”

Ah Esok! Kenapa kamu malah membuat pipiku memerah?
      
“Oke, ini sudah malam. Rintik-ku harus istirahat. Aku pulang dulu ya, doakan saja nanti aku tidak perlu pulang lagi, aku akan menetap.” Esok langsung memacu kendaraannya membiarkanku termenung dan berusaha mencermati kalimatnya.
      
“Rintik, ayo masuk!” tegur Ibu yang langsung membuyarkan lamunanku.
      
“Ibu lihat kan! Dia nyebelin. Pokoknya, Rintik gak mau lagi ketemu sama Esok!” kesalku yang yang malam membuat Ibu tertawa.
      
“Ibu yakin Esok anak yang baik.”
      
“Ibu salah! Pokoknya, Rintik mau Esok diambil saja sama semesta.”
      
“Hush!” Ibu memukul pundakku. “Tidak boleh ngomong begitu, omongan adalah doa, sayang.”

***
      
Keesokan paginya, mood-ku sudah berubah jauh lebih baik. Aku tidak lagi memikirkan Esok dan perkataan anehnya. Dengan penuh semangat, aku memakan sarapanku berdua dengan Ibu.
      
“Rintik, nanti kamu tidak usah naik sepeda ke sekolah ya.” Ibu membuka suara.
     
“Hah? Kenapa, Bu?” tanyaku bingung.
      
“Sepedamu sudah lama, Ibu takut ada yang rusak dan malah mencelakanmu. Jadi, Ibu bawa ke bengkel kemarin,” jelas Ibu yang sudah pasti berbohong. Padahal, sepedaku tidak terlalu lama, dan semuanya masih terlihat bagus. Tidak ada yang perlu diperbaiki.
      
“Jadi Rintik ke sekolah naik apa?” tanyaku pada Ibu.
      
Ibu menggeleng. “Ibu juga gak tahu. Mungkin kamu bisa naik becak atau jalan kaki. Gak apa-apa kan?”
      
Aku menganngguk, walau sebenarnya aku tidak suka. “Ya sudah, kalau gitu Rintik pergi dulu ya, nanti tukang becaknya keburu gak ada.” Aku pamit sambil menyalami tangan Ibu.
      
Saat aku tengah berdiri di pinggir jalan sambil menunggu tukang becak lewat, tiba-tiba sebuah motor keren bersama seorang cowok yang duduk di atasnya berhenti di depanku.
      
“Rintik, mau ikut aku?” tawar Esok dengan ramah.
      
“Tidak, aku naik becak saja,” tolakku mentah-mentah. Meski sudah melupakan perkataan Esok, tetap saja aku masih kesal dengannya.
      
“Semua tukang becak di kota ini sudah aku liburkan, Rintik. Jadi, ayo! Naik ke motorku.” Esok memberikan helmnya padaku.
      
Sebenarnya mencurigakan juga sih, selama lima belas menit aku menunggu di sini, tidak ada satupun tukang becak yang lewat. Padahal biasanya, belasan tukang becak lewat setiap menitnya. Tapi masa sih, Esok meliburkan para tukang becak? Tidak masuk akal.
      
“Ya sudah!” dari pada aku terlambat, lebih baik aku pergi bersama Esok saja.
      
“Kita berangkat telalu pagi. Jadi, kita sarapan dulu ya, Rintik,” tawar Esok.
      
“Tidak. Aku tadi sudah sarapan. Kalau kamu mau sarapan, sarapan saja sendiri,” tolakku masih dengan suara ketus seperti kemarin.
      
“Ya sudah, temani aku kalau begitu.” Tanpa basa-basi, Esok memacu motornya dengan kencang.
      
Tidak sampai lima menit, Esok sudah memberhentikan motornya di sebuah rumah pondok pinggir jalan yang sepertinya menjual berbagai macam sarapan pagi. Kami memilih duduk di meja yang dekat dengan jalan karena siapa tahu ada becak lewat. Jadi, aku tidak perlu berdua dengan Esok.
      
“Kamu yakin, tidak mau makan?” tanya Esok memastikan sebelum pergi memesan makanannya.
      
Aku menggeleng.
      
Tak lama kemudian, Esok kembali dengan sepiring pecel lele serta segelas es the di kedua tangannya. Tanpa basa-basi, ia melahap makanannya tak peduli aku yang sedari tadi memperhatikan dia makan.
      
“Kamu tahu, Rintik. Aku ingin menjadi petualang.” Esok membuka pembicaraan.
      
“Petualang?”
      
Esok mengangguk. “Ya, petualang. Orang yang pergi mengikuti arah angin, ke manapun, bebas. Makanya, aku jadi pembalap.”
      
“Pembalap? Apa hubungannya?” tanyaku masih tidak paham.
      
“Kalau aku jadi pembalap professional, aku akan pergi bertanding ke berbagai kota, dan negara. Lalu aku akan berpetualang di setiap tempat yang aku kunjungi. Aku yakin, itu akan menyenangkan.”
      
“Apa petualang akan pulang ke rumah, Esok?” tanyaku lagi.
     
Esok menggeleng sambil mengunyah makanannya. “Tidak, Rintik. Petualang tidak mengenal kata pulang ke satu rumah. Setiap jengkal tempat yang ia kunjungi, adalah rumahnya,” jawab Esok yang langsung menohok hatiku.
      
Esok, kalau benar kamu akan menjadi seorang petualang, itu berarti kamu tidak akan kembali padaku. Kamu tidak ingat Esok, saat kamu bilang rumahmu adalah aku? Ke mana kata-kata itu pergi, Esok? Sungguh, aku tidak ingin kamu menjadi seorang petualang. Aku ingin kamu menjadi seorang yang mengenal kata rumah untuk pulang.
       
“Kalau kamu mau, aku bisa mengajakmu juga,” tawar Esok memecah lamunanku.
      
Aku menggeleng. “Aku tidak suka menjadi petualang.”
      
Esok tersenyum jail. “Kan sudah kubilang, Rintik. Kalau denganku, apa yang kamu tidak suka akan kamu suka.”
      
Aku menatap jalanan yang ramai pejalan kaki dengan kosong tanpa berniat menatap mata Esok. “Bagaimana bisa aku bersama denganmu. Kan katamu saat itu aku ada di langit, dan kamu tidak bisa menggapaiku,” kataku dingin.
      
Esok berhenti mengunyah lantas mengambil kedua tanganku membuat aku terpakasa menatap dua buah mata cokelatnya yang entah kenapa sangat indah. “Apa kamu lupa kataku saat pertama kali kita bertemu, Rintik? Aku akan selalu ada di sisimu, walaupun dalam bentuk serpihan kenangan.”
      
Sehabis itu, tidak ada lagi kata yang terucap dari kami berdua. Semuanya senyap, sibuk memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya dari sudut pandang masing-masing. Kalau kalian bertanya apa yang aku pikirkan, aku akan menjawab. Jika Esok hadir di sisiku hanya dalam bentuk serpihan kenangan, maka akan kubiarkan kenangan itu jatuh berguguran, diinjak sampai tak kasat mata. Karena sungguh, mengingat Esok bersama kenangan, adalah hal yang paling menyakitkan.

HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang