6. Jangan Marah Pada Semesta

17 8 1
                                    

Aku berjalan meinggalkan Esok yang sibuk mencari tempat parkir untuk motornya. Kepalaku masih sibuk memikirkan apa setelahnya. Kalau memang benar ada mesin waktu di dunia, semesta, bolehkah aku pinjam satu? Karena sungguh, aku ingin langsung ke akhir ceritanya. Bairkan saja aku tidak mengerti dari pada aku terus tersakiti jika cerita ini dijalani sebagaimana seharusnya.
      
“Hai, Rintik!” sapa Bunga ramah saat aku masuk ke dalam kelas dengan ceria. Semesta, kalau bisa, aku ingin jadi Bunga saja, yang sempurna dan selalu terlihat ceria.
      
“Halo, Bunga!” sapa seseorang. Tapi bukan aku, seseorang yang seharusnya tidak lancang begitu muncul di hadapanku setelah apa yang dia katakana dulu.
      
Bunga menatap aku dan Esok penuh arti lalu dia mengangguk seolah-olah mengerti apa yang sedang terjadi. “Kalian masih marahan?” tanya Bunga meminta penjelaskan.
      
Esok yang berdiri di belakangku menggeleng percaya diri. “Tidak, hanya Rintik yang marah padaku. Kalau aku sih, gak bisa marah. Apalagi marah sama saingan senja yang entah kenapa tidak mau mentampakkan dirinya di langit. Atau mungkin, semesta takut banyak manusia yang mencintainya, seperti senja. Jadi, semesta sembunyikan dia. Tapi sayang, ada manusia yang sudah menemukan dia dan keindahannya. Benar kan, Rintik?” Esok menyenggol lenganku jail.
      
Aku berdecak sebal. “Apaan sih! Kamu gak jelas banget.” Tanpa pamit, aku pergi meninggalkan Esok berdua dengan Bunga yang sedang menatapku jail.
      
“Yah, Bunga gawat! Bidadarinya ngambek. Nanti kalau dia gak mau menampakkan keindahannya lagi gimana?” tanya Esok berpura-pura panik.
      
Bunga tertawa. “Ya bagus dong. Kalau dia tidak menampakkan keindahannya lagi, berarti cuma kamu yang pernah ngelihat keindahannya. Dan tidak aka nada satu manusia pun yang berani mengambilnya darimu, Esok.”
      
Kali ini, Esok menggelng tidak setuju dengan ucapan Bunga. “Gak bisa Bung. Saingan senja tetap harus di langit. Aku manusia yang biasa-biasa saja seperti ini mana bisa memiliki seorang saingan senja.” Esok berjalan menghampiriku lalu duduk di sampingku tanpa mengucapkan sepatah katapun setelahnya. Bagus, mungkin dia tahu aku sedang kesal.
      
Saat aku sedang fokus melihat guru yang menerangkan pelajaran di depan, tiba-tiba saja Esok berbisik di telingaku membuatku terkejut. “Nanti pulangnya sama aku ya,” bisik Esok.
      
Aku menggeleng. “Tidak, aku naik becak saja.”
      
“Kan sudah kubilang, tukang becak hari ini libur. Aku juga mau mengajarkanmu sesuatu.”
      
Aku menoleh. “Apa?”
      
“Belajar menerima kepahitan yang semesta ciptakan.”

***

Saat bel sekolah berbunyi, aku langsung bergegas meninggalkan kelas bersama Esok yang sedang tertidur pulas. Jangan bilang aku jahat karena tidak membangunkannya,tapi kalau aku melakukan itu, aku terpaksa harus pulang bersamanya. Dan tentu saja, aku tidak mau itu terjadi lagi.
      
“Pak becak!” teriakku pada seorang tukang becak yang akhirnya muncul setelah aku menunggu lima menit di depan gerbang sekolah.
      
Si tukang becak menghampiriku. “Maaf, ndok. Hari ini semua tukang becak libur,” ucap si tukang becak dengan medok.
      
“Loh, siapa yang suruh Pak?” tanyaku bingung.
      
Bapak itu memuat matanya berusaha berpikir. “Kalau ndak salah namanya Esok.”
      
Belum sempat aku berpikir, Esok sudah muncul dengan motornya di sampingku. “Kan sudah kubilang, Rintik. Tukang becak hari ini libur. Kamu keras kepala, sih.”
      
“Kenapa kamu bisa liburin semua tukang becak?” tanyaku bingung.
      
“Jawabannya sama kayak, kenapa ciptaan semesta yang satu ini harus muncul dikehidupkanku?” ucap Esok.
      
“Emang apa jawabannya?” tanyaku balik.
      
Esok menggidikkan bahu sambil menyodorkanku helm. “Gak ada jawabnnya, Rintik.”

***
      
Setengah jam berada di atas motor keren Esok sambil menikmati angin Kota Yogya yang masih segar walaupun sudah sore, kami tiba di sebuah toko kopi. Toko kopi ini sangat sederhana, tidak terlalu luas dan ramai. Dari tempat parkir, aku bisa merasakan aura yang berbeda dari tempat ini. Tempat yang mungkin terlihat biasa-biasa tapi bisa menimbulkan rasa nyaman hanya karena melihatnya. Tempat ini seperti rumah.
      
“Tempat ini aku nobatkan sebagai rumah ketigaku, Rintik,” kenal Esok sebelum kami masuk ke dalamnya.
      
“Memangnya rumah pertama dan keduamu di mana?” tanyaku penasaran.
      
Esok tersenyum simpul, menampakkan lesung pipi dalamnya. “Rumah keduaku adalah orang tuaku. Kalau yang pertama, tentu saja kamu.”
      
Aku memadangi Esok tanpa ekspresi, berusaha mengendalikan detak jantungku yang seperti diajak lari sepuluh kilo meter.
      
“Sudah, jangan dipikirkan. Ayo masuk!” Esok membukakan pintu untukku lalu dia menunjuk salah satu meja kosong yang terletak di samping jendela. “Duduk di situ dulu ya, biar aku pesan minuman dulu.”
      
Aku mengangguk patuh lalu berjalan menuju meja yang terdapat dua kursi yang saling berhadapan. Ada satu hal lain yang membuatku menganggap tempat ini seperti rumah. Saat aku memandang ke luar jendela, aku bisa melihat langit biru bersih tanpa gangguan bangunan tinggi. Sungguh tempat yang sempurna.
      
“Kalau kamu mau, kamu juga bisa jadikan tempat ini rumah,” kata Esok yang tiba-tiba muncul sambil memberiku secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap.
      
“Kamu ketemu tempat ini dari mana?” tanyaku sambil mengangkat cangkir kopi hendak meminumnya.
      
“Hati-hati. Masih panas, dan aku pesannya tidak pakai gula.” Esok memperingatkanku yang membuatku refleks meletakkan cangkir itu kembali ke meja dan memandang Esok tak percaya.
      
“Kenapa tidak pakai gula? Kopi kan pahit!” seruku tidak terima.
      
“Punyaku juga tidak pakai gula kok. Aku mengajakmu ke sini karena aku ingin mengajarkanmu sesuatu. Dari situ.” Esok menunjuk kopi yang ada di hadapanku.
      
“Kopi itu sama seperti kehidupan, Rintik. Rasanya pahit.”
      
“Tapikan bisa ditambahkan gula biar gak pahit,” potongku sebelum Esok berbicara panjang lebar.
      
Esok tertawa kecil sambil mengacak-acak rambut keritingnya. “Memang, kalau ditambahkan gula, rasanya bisa berubah. Tapi, akan ada suatu saatnya gula itu habis, dan kopi kembali pada sifat aslinya, pahit. Nah, coba kita anggap kopi itu nasib kita dan barista yang di sana adalah semesta.” Esok menunjuk seorang basrita berbaju hitam yang sedang sibuk meracik kopi.
      
“Nah, suatu hari, kamu ingin meminum kopi yang manis. Tapi sayangnya, gulanya sudah habis. Sang barista-pun terpaksa memberimu kopi pahit tanpa gula. Karena sudah dibuat, tidak mungkin kamu menolaknya. Jadi, dengan terpaksa kamu harus meminum kopi itu sampai habis. Sekali teguk, rasanya memang pahit, pahit sekali. Tapi coba, ditegukan kedua dan seterusnya, dengan hati yang ikhlas, kamu nikmati baik-baik. Aku yakin, rasa manis kopi yang suka malu-malu bakal keluar dan memanjakan lidahmu,” jelas Esok dengan wajah serius.
      
“Kamu tahu dari mana?” tanyaku menantang.
      
Esok menggeleng. “Pertanyaannya salah, Rintik. Seharusnya kamu tanya apa hubungannya denganku.” Ralat Esok.
      
Aku mendengus sebal. “Ya sudah, apa hubungannya denganku, Esok?”
      
“Hubungannya mungkin tidak sekarang, Rintik. Tapi aku yakin pasti hal ini akan terjadi. Saat hal pahit muncul dihidupmu tanpa henti, saat kamu tidak bisa mengendalikan amarah pada semesta, saat kamu berpikir seolah-olah semesta benci padamu. Coba kamu renungkan sebentar, lalu kamu ikhlaskan dan nikmati kepahitan itu dengan baik, aku yakin pahit yang kamu rasakan bakal terasa manis.”
      
“Kok bisa gitu?”
      
“Habis, kamu kan hal terindah yang pernah diciptakan semesta, bagaimana bisa pahit membiarkanmu sedih berlama-lama? Bisa-bisa, dia di demo seisi dunia.”
      
“Tapi bagaimana bisa aku tidak marah pada semesta?” tanyaku lagi.
      
Esok menggeleng sambil menggenggam tanganku. “Jangan marah pada semesta, Rintik. Dia gak salah apa-apa. Seharusnya, kamu marah padaku, yang terlahir sebagai manusia biasa-biasa saja, tidak seperti kamu yang kelewat sempurna.”
      
“Aku tidak paham, Esok.”
      
“Nanti juga kamu paham.”

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 23, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HilangWhere stories live. Discover now