SEPULUH

5.1K 245 11
                                    

Malam ini suasana makan malam di kediaman keluarga Bara berlangsung dengan tenang. Mereka menyantap makanannya dalam diam. Dan di meja itu hanya terdapat keluarga Bara beserta Johan saja. Yup, Shania tidak ikut.

“Wah, sepertinya kamu benar-benar membuatkan pasta yang diinginkan Shania waktu itu.” ucap Johan pada amara.

Ibu tiri Bara, pun menjawab. “Tentu saja. Aku jarang bertemu dengannya, jadi tak apa jika sesekali aku membuatkannya yang spesial. Jika dipikir-pikir bukankah Bara sangat luar biasa bisa mendapatkan perempuan seperti Shania? Kamu setuju kan Bara?” Wanita itu beralih pada anaknya. Namun Bara hanya menatapnya datar dan tidak berniat untuk menjawabnya sedikit pun.

“Tapi kenapa Shania tidak datang sekarang?” lanjutnya kemudian.

“Belakangan ini Shania terlihat tidak begitu bahagia.” jawab Papinya Shania.

“Apa terjadi sesuatu?” sela Rizal bertanya.

“Tidak ada. Mungkin dia hanya lelah dengan cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Bara, kamu harus bersikap baik padanya. Om percaya sama kamu” tukas Johan menepuk pundak Bara disampingnya.

“Jawab dia Bara.” desis Rizal melirik anaknya.

Lalu Bara pun menjawab ucapan Papinya Shania, “Iya Om.”

Bagi Bara, cinta adalah sebuah kata konyol yang hanya mempersulit hidupnya. Dia tidak pernah merasa bahagia sedikitpun karena Papanya selalu mengatur skenario hidupnya. Sejak kecil Bara selalu terikat dengan Shania, gadis yang telah membuat Papanya memperlakukan dirinya seperti boneka. Memang benar, kalau Shania itu teman kecilnya. Tetapi semenjak gadis itu mengungkapkan rasa sukanya, semuanya menjadi rumit. Papanya memanfaatkan hal itu untuk kepentingan bisnisnya tanpa memikirkan perasaan dirinya. Benar-benar egois.

Dan jika kalian bertanya apakah sebenarnya Bara membenci Shania? jawabannya tidak. Lalu apa Bara sebenarnya menyukai Shania? tidak juga. Bara hanya selalu kesal saja. Dia berusaha agar gadis itu membencinya lalu menjauhinya. Dengan begitu hidupnya pasti akan bebas dari kekangan Papanya. Tapi ternyata Shania tidak mau menyerah untuk mendapatkan cintanya.

Akhirnya acara makan malam pun selesai. Bara dan Rizal pergi keluar untuk mengantarkan Papinya Shania sampai depan rumah. Rizal memberinya anggukan sopan sebelum investor terbesarnya itu pergi.

“Sampai jumpa, Pak Johan!” serunya melihat mobil hitam itu melaju.

Tak lama mobil Johan pun sudah tidak terlihat lagi, dan Rizal langsung menarik kerah Baru anaknya. “Sini kamu!”

Rizal menarik Bara masuk ke dalam rumah lalu menghempaskannya ke sofa. “Kurang ajar. Berani sekali kamu, bukankah kamu sudah berjanji akan memperbaikinya? Kenapa kamu tidak bisa bersikap baik pada si Shania itu?!!”

“Sayang, tolong hentikan.” cegah ibu tiri Bara.

Bara malah tersenyum melihat Amara, “Anda tidak usah bersikap seperti itu didepanku. Jangan ikut campur.” ujarnya sakratis.

BUGH.!

Rizal langsung memukul Bara dengan keras menandakan sebuah peringatan. Bara pun menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya. Pukulan ini berhasil membuat hati Bara sangat sakit. Apa Papanya ini telah kehilangan akal?

“Baiklah, mari kita akhiri ini.” ucap Rizal yang marah. Ia mengambil sebuah tongkat dan hendak memukulkannya di kepala Bara.

“Jangan lakukan itu!” Amara menghentika aksi suaminya.

“Sayang, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Jangan emosi seperti ini. Tolong beri Bara kesempatan,” pintanya seraya menitihkan air mata.

Rizal yang melihatnya pun tidak tega melihat istrinya menangis. Lalu ia menjatuhkan tongkat itu. “Bara, kamu harus berterimakasih pada Mamamu. Papa beri kamu kesempatan lagi untuk melakukan yang terbaik. Jangan kecewakan Papa!” tegas Rizal kemudian pergi meninggalkan mereka.

Bahagia & Luka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang