Bag. 1 : Taksi Biru

211 88 16
                                    

Malam ini menjadi malam terakhirnya untuk berada di negara yang menjadi kekuasaan Jerman pada saat Perang Dunia II.

Austria.

Negara ini telah menjadi bagian hidup dari seorang Airlangga Hutono. Tempat dimana ia menjalani masa kecilnya hingga beranjak tumbuh di bangku Sekolah Menengah. Alasan mengapa ia menetap di negara ini adalah karna ayahnya seorang Duta Besar yang mengharuskannya tinggal jauh dari negara asalnya, Indonesia.

Waktu dengan cepat berlalu. Siang tadi Airlangga sibuk mengemasi pakaian, dan barang-barangnya hingga tak terasa malam pun tiba.

Airlangga memeriksa waktu melalui jam yang melekat di tangan kirinya "ini sudah jam 6, katanya dia ingin mengantarku hingga ke bandara", ucap Airlangga dengan nada gusar. Entah sudah berapa kali ia memeriksa jam tangannya, namun seseorang yang sudah dia tunggu tetap saja belum menunjukkan batang hidungnya.

Sudah 1 jam lamanya ia menanti di lobi apartemen, menunggu supir pribadi ayahnya tiba. Dan untuk kesekian kalinya, Airlangga kembali memeriksa jam tangannya yang saat ini telah menunjukkan pukul 7.16.

"Pesawatku kan jam delapan, bisa telat nih", ucap Airlangga dengan perasaan khawatir. Khawatir ia akan terlambat karna perjalanan menuju bandara dapat memakan waktu hingga 15 menit, itupun bila tidak terkena macet.

Mengetahui kemungkinan dia akan terlambat, dengan segera Airlangga mencari alternatif lain agar ia dapat menuju bandara tepat waktu.

Cepat-cepat ia berfikir keras dengan wajahnya yang terlihat sangat serius, hingga orang disekitar yang melihatnya pun akan tahu bahwa remaja ini sedang memikirkan sesuatu. Setelah beberapa menit menghitung waktu, dan lamanya perjalanan, akhirnya terlintas sebuah ide sederhana dibenaknya. "AHA!"

Dengan tergesa ia menarik kopernya, lalu berjalan menuju pintu utama apartemen yang kebetulan memang mengarah ke jalanan besar yang cukup ramai. Ia berharap akan menemukan taksi yang dapat membawanya ke bandara.

Dan benar, tidak lama setelah itu terlihat sebuah taksi biru melaju kearahnya sesaat setelah dia melambaikan tangannya tanda membutuhkan tumpangan. Taksi berwarna biru tersebut berhenti tepat didepan Airlangga berdiri, dan disusul suara dari dalam taksi itu dengan aksen Jerman nya yang khas.

"Wohin gehst du?" ( kemana tujuanmu ? )

Mendengar pertanyaan itu, dengan cepat Airlangga menjawab, "Flughafen Sir" (bandara pak).

"in Ordnung. beeil dich, bruder"
(baiklah. cepat naik bro), balas pengemudi taksi itu.

Sedikit harapan membuat rasa khawatir Airlangga berkurang, segera dimasukkannya koper itu ke kabin belakang taksi yang memang berbentuk sedan tersebut. Seharusnya ia menaruh kopernya di bagian bagasi, namun Airlangga merasa bahwa itu hanya akan memakan waktu sehingga ia memutuskan untuk menaruhnya disamping tempat duduknya.

Dibarengi dengan tubuhnya yang akan masuk kedalam taksi, terdengar bunyi klakson yang sangat familiar di kupingnya. Suara klakson ini seperti sebuah mantra ajaib bagi Airlangga, seketika itu tubuhnya terdiam selama beberapa detik hingga suara dari pengemudi taksi menyuruhnya untuk cepat masuk. Namun, rasa lega sekaligus kesal menguasai pikirannya saat ini. Lega karna manusia yang ditunggu nya telah datang, kesal karna manusia itu membuatnya menunggu terlalu lama.

Seorang laki-laki berumur 30tahunan turun dari mobil yang membunyikan klakson tadi, lalu mengambil koper dari dalam taksi sembari berkata, "Es tut mir leid, Sir. Meine Nichte scheint von zu Hause wegzulaufen. Tut mir leid, dass ich Sie warten lassen muss." (maafkan saya pak, keponakanku mencoba kabur dari rumah, maaf membuatmu menunggu)

"du böser Junge" (dasar anak nakal), ucap sopir taksi kepada Airlangga. "Beeil dich und bring dieses Kind mit, störe mich einfach" (cepat bawa anak ini, menyusahkanku saja), lanjutnya.

Halo! AmiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang