Bag. 2 : Sampai Jumpa

142 84 5
                                    

Di dalam mobil dinas berjenis mercedes milik ayahnya itu Airlangga mengungkapkan kekesalannya pada Pak Arief dengan diam seribu bahasa sepanjang perjalanan ke bandara.

Airlangga sering memanggil pak Arief dengan sebutan "Rif".

Tidak sopan? Memang..

Memanggil seseorang yang lebih tua darinya hanya dengan sebutan "Rif", tanpa embel-embel seperti "Pak", "Bang", atau yang lainnya jelas tidak sopan.

Namun dilain sisi, pak Arief ini memang merupakan supir pribadi ayahnya sejak bertugas menjadi Dubes RI. Pak Arief mengerti betul sifat Airlangga karna memang telah mengenalnya sejak Airlangga kecil, tidak pernah sekalipun dia marah kepadanya walau hanya dipanggil sebatas "Rif Rif".

*****

Saat itu Airlangga masih berumur 3 tahun. Thomas Hutono, ayah Airlangga seringkali pulang larut malam. Sehingga mau tidak mau dia harus mempekerjakan supir yang akan mengantarnya kemanapun dia pergi. Thomas berfikir jika ia mengemudi dalam keadaan mengantuk akan berakibat fatal pada dirinya sendiri.

Bila itu terjadi, ia takut istrinya akan kehilangan sosok seorang suami, dan yang terutama Airlangga akan kehilangan sosok seorang ayah.

Maka dari itu, Thomas berinisiatif mulai mencari seorang supir, dan bertemulah ia dengan Arief. Seorang kawan yang dikenalnya semasa dia mengambil S2.

Perkenalannya dengan Arief terjadi secara tidak sengaja saat keduanya tengah berada di perpustakaan kampus.

Saat itu Arief merupakan mahasiswa baru di kampus dan Thomas berada jauh diatasnya. Arief merasa bahwa Thomas berbeda dengan kebanyakan orang. Ketika orang lain masih sibuk mengerjakan tugas kuliahnya, Thomas sudah bisa melakukan banyak hal yang disukainya seperti bermusik. Hubungan pertemanan itu berlanjut saat Arief kadangkala bertanya tentang mata kuliah yang tidak dia mengerti. Thomas dengan senang hati menjelaskannya kepada Arief dengan perlahan, namun cukup jelas untuk dimengerti.

*****

Setelah 15 menit berlalu, Pak Arief berupaya memecah kesunyian didalam mobil itu dengan berkata, "kamu merasa kesal denganku Lang?". Panggilan 'Lang' memang merupakan panggilan akrab Pak Arief untuk Airlangga.

"Lang", panggil Pak Arief karna Airlangga tak kunjung membalasnya

......

"Lang", dan untuk kesekian kalinya Pak Arief kembali memanggil namanya.

Seketika panggilan itu membuyarkan lamunan Airlangga. Dibalasnya panggilan itu dengan suara pelan, "ada apa Rif?".

Arief kembali bertanya pertanyaan yang sama, "kamu merasa kesal denganku?".

"Tidak, untuk apa aku kesal ?", jawaban ini tentu saja adalah kebohongan. Arief dapat melihat bahwa anak ini sedang merasa kesal karna dirinya terlalu lama menjemputnya.

"Tadi saya terjebak macet Lang, ada kecelakaan tunggal. Mobil itu menutupi setengah badan jalan, belum lagi ada truk derek yang bikin tambah macet", balas Arief sebagai penjelas mengapa dirinya datang terlambat hingga 1 jam lamanya, dan membuat Airlangga menunggu.

Tidak membalas perkataan Arief tadi, Airlangga bertanya "mengapa kau mengatakan pada supir taksi tadi bahwa aku adalah keponakanmu?".

"Ooohhh. Coba kamu pikir, kalau saya bilang kamu tidak jadi naik taksi. Apakah supir tadi akan membiarkan kamu pergi?".

....

Semua jawaban dan penjelasan Pak Arief membuat emosi kekesalan Airlangga menjadi berkurang. Tatapannya yang sedari tadi mengarah pada sisi luar mobil dengan maksud membuang muka, kini tatapannya beralih kearah depan yang membuat Pak Arief sedikit lega.

"Pulang ke Indonesia ko bawaannya dikit amat?", tanya Pak Arief.

"Ya dikit lah, emang mau kemana bawa barang banyak. Emangnya mau pulang kampung apa"

Mendengar jawaban dari Airlangga membuat Pak Arief tersenyum kecil karna tingkah anak temannya ini.

"Loh? Indonesia tu kampung halaman loh. Tanah kelahiranmu", balas Pak Arief yang membuat Airlangga mati kutu. Karna memang benar, Indonesia adalah tanah kelahiran Airlangga.

"Udahlah ayo cepett Rif keburu telat nih", perintah anak remaja 15 tahun itu karna merasa dirinya tidak bisa melanjutkan perdebatan singkat.

Pak Arief kembali tersenyum mendengarnya, dibarengi dengan bertambahnya kecepatan mobil yang ditumpangi mereka berdua.

25 menit berlalu hingga merekapun sampai di Bandara negara ini, Flughafen Wien, salah satu bandara di Austria yang merupakan bandara terpadat dan tersibuk. Di lain hal, Airlangga cepat-cepat mengeluarkan kopernya dari bagasi mobil. "Rif, kamu sampai sini aja atau mau sekalian nganter?", tanyanya kepada Arief.

"Saya ikut nganter dong, mas Airlangga kan mau pulang kampung", jawab Arief seraya meledek remaja itu.

Melihatnya diledek oleh Pak Arief, Airlangga hanya bisa memasang muka sebal karna saat ini dirinya sedang dikejar oleh waktu pemberangkatan pesawat. Padahal biasanya dia akan balas meledek kepada lelaki kepala 3 itu dengan lelucon konyol miliknya.

Arief membantu membawakan koper dan mengantar remaja itu hingga sampai depan gate bandara. Sebelum membiarkan remaja itu berjalan memasuki gate, Arief berkata pada Airlangga "Lang, jaga dirimu. Kebenaran harus dijunjung tinggi seperti kata ayahmu. Mungkin kita akan bertemu lagi, suatu saat".

"Aku bakal jaga diri, kamu juga jaga diri yah"

Lagi dan lagi, walau akan berpisah sosok remaja ini tetap saja tidak sopan.

"Pasti ketemu kok. Bilang ke papa jangan suka pulang malem ya. Tolong jagain papa sama mama ya Rif. Sampai jumpa ya om"

Kata-kata itu menjadi ucapan 'sampai jumpa' yang unik karna dirinya dipanggil "Om", sekaligus menjadi perintah bagi dirinya untuk menyampaikan kata-kata remaja tadi ke ayahnya. Senyum kembali menghiasi raut mukanya, mengingat saat itu Airlangga masih kecil dan yang berada dihadapannya adalah remaja berumur 16 tahun, tak terasa selama 13 tahun ia sudah bekerja bersamanya. Saat ini matanya sedang mengikuti langkah anak remaja itu yang makin lama makin menjauh, meninggalkan tempatnya berdiri.



Halo! AmiraWhere stories live. Discover now