Part 1

34 2 6
                                    

Butiran air hujan turun perlahan membasahi bumi. Bulir-bulir air membasahi dedaunan. Aku pandangi salah satu anugerah dari Tuhan itu dengan berbagai rasa. Mengalihkan perhatianku sejenak, dari penatnya kuliah siang ini.

Bagiku hujan bukan hanya romantis, tetapi penuh makna. Air dari langit itu memberi harapan hidup. Penghubung antara langit dan bumi.

"Hujan itu adalah  sebuah peristiwa presipitasi. Yaitu jatuhnya cairan dari atmosfer yang berwujud cair maupun beku ke permukaan bumi yang berwujud cairan." Setengah terkantuk kumendengar ucapan Pak Iswanto, dosen hidrologi.

Slide-slide power point tidak mampu mengenyahkan rasa kantukku yang begitu berat.

"Tina, bangun! Kuliah udah beres!" teriak suara bariton di sebelahku. 

Aku membuka mata, mengerenyitkan alis. Kupandangi sumber suara di sebelahku. Uda Hendi. Kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kelas. Sepi. Semua mahasiswa sudah pulang. Uda Hendi terakhir pulang karena dia adalah asisten dosen.

"Eh, Uda. Pak Is, sudah keluar kelas?" 

"Udah dari tadi."

"Ya, Allah, ngantuk banget hari ini," ucapku sambil mengucek mata. 

"Makanya, jangan begadang."

"Banyak tugas, Da. Tadi malam gak tidur ngerjain tugas morfologi. Semester ini jadwal aku padat. Gak kayak Uda yang udah nyantei."

"Yoi. Aku ada di kelas ini karena disuruh Pak Iswanto, dosen pembimbing aku, untuk jadi asdos. Kalo enggak sih, ngapain kuliah bareng anak-anak labil kayak kamu."

"Hmm, kayak sendirinya gak labil aja. Uda itu bukan cuma labil tapi juga bucin."

"Dasar!"

"Iya, penelitiannya aja tentang curah hujan. Mirip kayak pujangga yang cinta hujan. Hehe."

"Iya, deh. Gak apa dibilang labil atau bucin kalo asal kamu yang bilang, aku suka. Yuk, kita pulang!"

Deg. Entah mengapa perkataan Uda Hendi begitu menusuk hatiku. Ah, andai kamu tahu, Da. Kamu punya ruang istimewa di hatiku.

"Hei, Tina! Bengong aja. Minggu depan, kita dapat tugas untuk praktek ngitung debit air di Katulampa."

"Oh, iya, Da. Bukannya tadi bahas hujan dan proses terjadinya hujan aja? Kok udah sampe bahasan debit air?"

"Wah, kamu ketinggalan banyak materi, Tina! Udah sedikit bahas debit air. Minggu depan kita ke Katulampa."

"Woow, asyik jalan-jalan. Yeay!" seruku dengan bahagia. Seperti anak taman kanak-kanak yang akan pergi rekreasi.

Satu hal yang paling aku suka di jurusanku ini adalah saat praktek lapang. Sejujurnya aku kuliah di sini, karena ingin membahagiakan ibu. Ibu ingin salah satu anaknya masuk jurusan IPA. Sementara dua kakakku masuk jurusan IPS. Padahal aku sangat mencintai dunia sastra, bukan otak sains.

"Yah dia malah bengong lagi. Ayo, Tina! Beresin diktatnya, kita pulang!"

"Iya, Uda."

Kulirik wajah tampan itu. Hatiku mendesir, entah mengapa selalu ada getaran halus itu. Masuk perlahan dalam relung kalbuku. Memberikan ketenangan dan rasa nyaman. Padahal kami baru dekat saat ada di kelas ini.

Perlahan kurapikan tumpukan buku tulisan, fotokopian materi kuliah dan diktat tebal. Beruntungnya tas ranselku mampu menampung semua perlengkapan kuliahku. Setelah selesai, kutatap tubuh gagahnya. "Ayo Uda, kita pulang."

Pria Pilihan IbuWhere stories live. Discover now