Part 5

12 1 0
                                    

Brak!

Pintu rumah ditutup dengan kasar oleh Ibu. Aku tak berani menatap wajahnya. Terbayang raut mukanya yang muntab, akibat melihatku bersama Uda Hendi di acara pelepasan wisudawan di jurusan tadi.

Tadi kami terpaksa pulang cepat, tanpa mengantarkan Angku dulu. Angku ikut mobil bersama Tante dan Nenek. Sedangkan aku, ibu dan dua kakakku, kakak ipar dan ponakanku langsung pulang ke Sukabumi. Rencana ini begitu mendadak, berbeda dengan rencana awal kami yang  setelah wisuda akan jalan-jalan dulu ke kebun raya Bogor.

Kakak sulung dan keluarga kecilnya langsung pulang setelah mengantarkan kami ke rumah. Kakak keduaku bergegas masuk ke kamarnya, secepat kilat sebelum Ibu masuk rumah. Strateginya sesuai mengingat Ibu yang tadi di kampusku muntab, pasti akan terbawa sampai ke rumah.

Aku melangkah perlahan, hendak pergi ke kamarku, akan tetapi jari ibu mencengkram erat lenganku.

"Duduk!" perintahnya.

Aku pun mengambil tempat di ujungnya sofa. Kuletakkan topi wisuda di meja. Begitupun berbagai buket bunga dari teman-temanku, dan tas tangan kecil.

"Bilang ke Ibu, apa kamu janjian sama si Hendi?"

"Enggak, Ibu. Demi Allah."

"Kenapa dia ada di sana?"

"Bu, namanya juga kampus tempat wisuda, pasti banyak orang. Semua orang bebas untuk keluar masuk."

"Ibu tak percaya!"

"Terserah Ibu, mau percaya atau tidak!" Aku pun berdiri dan meninggalkan ibu. 

Lelah badan dan otak ini tak seberapa dibandingkan luka yang menganga kembali setelah dua tahun nyaris sembuh. Aku benci kondisi seperti ini.

Terpasung dalam luka. Lagi.

***

Malam temaram dan hening. Tanpa bintang. Rembulan mengintip dari balik mega. Dedaunan bergoyang ditiup bayu, menimbulkan siluet indah. Semua lukisan alam itu aku nikmati dari balik jendela kamarku. Suasana yang sunyi. Hampa, seperti suasana hatiku. 

Ah, mengapa begitu lemahnya jiwa ini. Saat semua mimpi dibenturkan dengan realita. Layaknya orang yang sedang bermimpi dipaksa untuk berjalan. 

Kepalaku terasa berat saat mengingat peristiwa tadi siang. Jutaan pengharapan hilang dalam waktu hitungan menit.

Apa aku yang terlalu bodoh. Berharap angin senja akan datang tatkala mentari  sudah menghilang dan berganti rembulan?

Buliran air bening di pelupuk mataku perlahan membasahi parasku. Sungguhnya jiwa ini letih. Dalam pengharapan tak bertepi. Apakah pepatah lama akan bertutur kembali di abad milenial ini? Bagai pungguk merindukan bulan.

Tok tok tok. Suara ketukan pintu kamarku membuyarkan semua gundahku. Setelah menyeka air mata, aku bergegas membuka pintu.

"Tina, boleh Ibu masuk?"

"Boleh atuh ih, biasanya juga tinggal masuk. Ibu mah lucu," ujarku sambil berusaha melawak.

Ibu mengambil tempat di ujung ranjang. Aku duduk di sisinya.

"Matamu bengkak, Tin. Pasti nangis terus, ya?" ucap Ibu sambil membelai rambutku.

Aku bergeming. Tak kuasa berucap. Malah air mata yang menjawabnya. Ibu itu aslinya berkarakter lembut. Kerasnya hidup membentuknya menjadi pribadi yang terlihat beringas. Padahal sebaliknya, ia sangat lembut dan penuh cinta.

"Maafkan Ibu, Tina. Ibu akui, Ibu salah. Terlalu mengekangmu. Memaksakan kehendak Ibu."

Lagi-lagi aku bergeming. Air mata ini turun bagaikan hujan di awal tahun. Deras dan tiada henti.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 10, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pria Pilihan IbuWhere stories live. Discover now