Part 3

11 2 0
                                    

Derap langkahku berpacu dengan rinai hujan. Sneaker hitamku menginjak genangan air. Hujan hari ini intensitasnya lumayan tinggi.

Andai saja aku tidak pergi berkunjung ke rumah Angku, aku akan menari di bawah guyuran hujan. Menikmati setiap titik airnya. Sayangnya aku harus mengenakan payung untuk melindungi tubuhku agar tak kebasahan sampai di rumah Angku.

Aku senang tinggal di sini. Kota yang serimg hujan. Sampai kota ini, Bogor, dijuluki kota hujan.

Kunikmati wangi tanah basah setelah terkena hujan. Segarnya menghilangkan milyaran penat di hati dan otakku. Memberi semangat untuk terus berdoa dan berusaha. 

Di setiap titik hujan, selalu terselip doa. Karena berdoa di kala hujan adalah waktu istimewa. Salah satu saat doa akan dikabulkan.

Akhirnya aku tiba di depan rumah mungil berpagar merah. Setelah meniti tangga semen lalu membuka pintu pagar pendek itu, sampailah aku di teras rumah minimalis. 

Tak ada sahutan setelah kuketuk pintu dan mengucap salam. Kuulang kembali mengucap salam dengan suara lebih kencang.

"Waalaikumussalam." Akhirnya terdengar suara wanita dari dalam.

Krek, pintu terbuka. Nampak seorang wanita berusia sekitar tujuh puluhan. Kusambut tangannya lalu cium dengan takzim.

"Sehat, Nek?" tanyaku pada istri Angku. Ibu menyuruhku memanggilnya Nenek, bukan Andung, seperti panggilan nenek dalam bahasa Padang.

"Alhamdulillah, sehat. Ayo, masuk!" ajaknya sambil membuka pintu lebar-lebar.

Perlahan aku memasuki rumah mungil itu. Kemudian duduk di sofa paling ujung. Kamar Angku tepat di depanku. Nenek masuk ke kamarnya, tak lama keluar lagi. Pintu kamar sedikit terbuka. 

Dari sudut mataku, kumelihat Angku turun dari ranjangnya lalu tertatih-tatih menuju ruang tamu tempatku duduk.

"Tina, sehat?"

"Alhamdulillah. Angku sendiri bagaimana? Sehat?"

"Alhamdulillah, Tina. Biasa badan Angku pegal-pegal. Maklum sudah tua."

Aku tersenyum, memandang wajahnya yang teduh. Angku rajin beribadah. Tak jarang ia menjadi imam di mesjid dekat Pasar Anyar. Di usianya yang sepuh, ia masih bersemangat untuk berjualan. Aneka pakaian ia jual. Dari pakaian muslim, baju anak, baju pria dan baju wanita.

Jiwa bisnisnya mengalir kencang di dalam darah Minangnya yang hanya kumiliki seperempatnya saja. Selain karena kota yang sering hujan, Angku lah salah satu penyebab aku memilih kuliah di kota ini.

"Angku, minggu depan Tina wisuda. Angku bisa menghadiri?" pintaku.

"Angku sudah tua, Tina. Tak patut lah ikut acara anak muda seperti itu."

Aku tertawa kecil. "Ini bukan acara anak muda, Angku. Ini adalah salah satu proses terakhir agar Tina menjadi sarjana, selesai kuliah."

"Oh iya. Angku lupa. Hehe. " Angku tertawa. Matanya yang sipit tinggal membentuk garis.

"Angku, mau datang? Nanti Ibu ke sini jemput Angku."

"Mudah-mudahan Angku sehat, ya."

"Aamiin. Alhamdulillah. Tina bahagia Angku mau menghadiri wisuda Tina."

Angku tersenyum. "Tina, sudah punya calon suami?" tanyanya perlahan.

Aku menggeleng. "Belum, Angku."

"Tempo hari Angku dengar dari ibumu, kau sedang dekat dengan lelaki. Si … si … ah Angku lupa namanya."

"Uda Hendi, Angku?"

Pria Pilihan IbuWhere stories live. Discover now