Part 4

7 0 0
                                    

Hari ini matahari menunjukkan pesonanya, membakar semangat dalam jiwaku. Kutatap sinarnya walau sambil memicingkan netra. Langkahku menuju kampus kali ini, membuat jantungku berdetak tak karuan. Rasanya seperti jatuh cinta untuk pertama kali.

Bukannya aku tak cinta pada sinar sang surya. Tak ada maksud sedikit pun untuk menjadi orang yang pandai bersyukur. Tapi aku merasa ada yang lain kali ini. Sesuatu yang hilang dari hariku.

Saat ini aku merindukan hujan. Ya, harusnya hujan menemani hari bahagiaku. Hari ini adalah hari yang kutunggu selama empat tahun di sini. Kala berbahagia penuh bunga. Langit begitu cerah, secerah wajah-wajah yang kutemui hari ini. Mereka nampak bahagia di dalam balutan toga dan topi wisuda.

Aku melirik orang-orang istimewa yang ada di sisiku. Alhamdulillah Angku dan Ibu datang di hari istimewaku ini. Kakak-kakakku dan Tante datang. Nenek, istri Angku pun datang. Namun karena yang berhak mendapatkan undangan dua orang, hanya Angku dan Ibu yang masuk ke dalam gedung wisuda. Selainnya menunggu di dekat mobil.

Seperti halnya aku merindukan hujan di hari yang cerah ini, aku pun merindukan kehadirannya. Ayah. Ia telah lama tiada. Ia pergi meninggalkan kami saat aku baru berusia enam tahun. Aku masih mengingatnya saat ia menemaniku bermain.

Sejak ayah pergi karena sakit gagal ginjal, otomatis semua biaya keluarga kami, Ibu yang mengurusnya. Wanita itu begitu tegar. Pantang mengeluarkan air mata di hadapan kami, empat anaknya. Namun dia tetaplah seorang manusia yang terkadang lemah, butuh istirahat, mengharapkan perlindungan. Aku pernah memergokinya berlinang air mata, di kala sepertiga akhir malam.

Ibu adalah wonder woman-ku. Menjadi seorang single fighter itu luar biasa. Ibu membanting tulang mengurus usaha konveksinya dari nol. Dari mulai berjualan keliling, lalu membuka kios di pasar, sampai akhirnya memberanikan diri membuka konveksi.

Tangannya seperti Raja Midas. Apapun yang ia sentuh menjadi emas. Ia begitu piawai dalam menjalankan bisnisnya. Sikap keras kepalanya dan pantang menyerah membuat usahanya berhasil.

Ibu tak pernah berpikir untuk menikah kembali. Ia berkata bahwa cintanya telah habis untuk tiga anaknya, juga untuk ayah yang telah pergi. Tak akan kembali. Ayah, aku rindu.

Bulir bening jatuh satu persatu di pipiku. Hilang semua konsentrasiku kala mengenangnya. Orasi dari sang rektor pun tak kudengar. Ah, ayah, kuharap kau bangga padaku, anakmu yang hari ini mendapat gelar sarjana pertanian.

Ayah, andai kau tahu, selain padamu, aku pun merindukannya. Lelaki hebat yang selalu membuatku tersenyum. Namun kepergiannya menghadirkan luka di hati.

Meski dua tahun telah berlalu, tetapi namanya masih terpatri kuat di hatiku.  Namun demi cinta dan baktiku pada ibu, aku rela melepasnya.

Kendati demikian, sampai detik ini aku masih memikirkannya. Walau nanti pada akhirnya aku harus berpisah dengannya, aku tak peduli. Aku hanya ingin mengetahui kondisinya saat ini. Apakah dia sehat, apakah dia bahagia. Aku pun tak peduli dengan perasaannya padaku. Karena aku tak yakin apakah dia merasakan yang kurasa saat ini. Rindu.

Tak terasa acara di gedung utama telah selesai. Sekarang waktunya menuju fakultas, Angku dan Ibu sudah terlebih dahulu menunggu di sana bersama rombongan orang tua wisudawan. Perlahan kulangkahkan kaki menuju gedung pertemuan fakultas, bersama ratusan wisudawan dan wisudawati lainnya.

Dari kejauhan aku melihat seorang gadis berlari menghampiriku. Ia mengenakan rok hitam dan baju  pink lengan panjang. Kerudung bercorak bunga dengan warna senada membuatnya terlihat sangat cantik. Jaraknya kini semakin dekat denganku. Ternyata dia Dini, adik tingkatku.

"Teh, selamat, ya." Ia menyalami lalu memelukku.

"Makasih, Din."

 "Teh, ini ada titipan," ucap Dini. Ia memberikan seikat bunga mawar cantik berwarna merah. 

Pria Pilihan IbuDove le storie prendono vita. Scoprilo ora