Part 2

15 2 1
                                    

Kala aku terjaga di pagi hari. Masih kujumpai setangkup rasa yang pernah ada. Menyisakan serpihan masa lalu. Menyeret air mata untuk luruh kembali ke bumi.

Januari datang lagi.

Gemericik suara hujan, menari-nari di telingaku. Melambungkan jutaan 

kenangan indah yang telah berlalu. Berlalu bersama jatuhnya air hujan menuju sungai. 

Hujan selalu indah untukku. Peristiwa alam yang tak ingin dilewatkan, selalu dinanti di ambang batas kemarau. Hujan, rahmat bagi bumi, berkah dari langit. 

Harusnya aku bahagia menyaksikan hujan turun menyerbu bumi. Tapi entah mengapa hati ini pedih. Setiap awal tahun tiba, aku selalu mengingatnya. Nama yang selalu ada di hatiku untuk selamanya.

"Apa yang salah dengan perbedaan suku, Tina?" tanya Uda Hendi saat itu, awal Januari dua tahun lalu. 

"Ibu tidak ingin kisahku seperti kisah Angku dan Nini."

"Jika ada cinta, mengapa harus mempertanyakan perbedaan? Apakah jatuh cinta pada gadis yang berbeda suku itu adalah suatu kesalahan?"

Aku bergeming. Aku selalu kalah olehnya. Ia begitu cerdas, sosok sempurna, nyaris tanpa cacat di mataku. Kupegang gawaiku erat-erat. Berusaha menutup bibirku agar suara tangisku tak terdengar olehnya.

"Mana alamat rumahmu. Aku akan menemui keluargamu."

"Jangan, Uda. Ibu tidak akan mengerti."

"Tina, ini masalah serius! Ini sudah 2015! Bukan lagi zaman prasejarah atau awal Masehi!"

"Uda … tolong mengerti kondisi keluarga kami."

"Di keluarga kami, bebas menikah dengan siapa pun. Syaratnya satu keyakinan dan berbeda jenis kelamin. Iyalah, masa aku mau nikah sama cogan."

Lelucon Uda Hendi membuatku tertawa lepas. Walau hanya sebentar, ia mampu membuatku melupakan luka di hati. Itu salah satu yang menjadikanku jatuh cinta padanya. Orang yang membuatku nyaman, bebas menjadi diriku sendiri tanpa jaim.

"Tina. Kamu tau kenapa namaku Hendi Irawan? Nama yang tak umum bagi suku Minang. Namaku itu pemberian dari seorang kawan Abak dari Sunda. Saat itu Amak sedang hamil aku tujuh bulan."

"Terus?"

"Kawan Abak ini sangat baik, gagah pula orangnya. Sayangnya dia kena penyakit diabetes. Sebelum meninggal, dia ingin namanya diabadikan dalam nama anak Abak. Iya, itulah namaku."

"Dari keluarga Uda tidak ada pertentangan masalah nama itu?"

"Indak, tidak. Sama sekali tidak. Mereka tidak marah. Malah bahagia, karena punya keturunan bernama Sunda. Juga saat aku bilang aku suka gadis Sunda, mereka tidak melarangnya."

Aku terkesima, bingung ingin mengucap apa.

"Tina, menikahlah denganku. Aku janji, akan membuatmu bahagia."

Air mataku luruh lagi. Uda, andai kau tahu. Hari ini ingin berkata, iya. Namun apa dayaku, aku tak kuasa. Persoalan ini begitu berat.

Kuusap air mataku, perlahan aku mencoba berkata, "Uda, kita baru kenal sebentar. Apa yang membuatmu yakin memilihku? Kita baru kenal, tidak ada ikatan sebelumnya antara kita."

"Itulah kekuatan cinta, Dek. Kekuasaan Tuhan. Dia yang menciptakan manusia berpasangan. Dia menciptakan rasa di hati ini. Saat melihatmu, aku langsung jatuh hati."

Beruntungnya saat ini aku berada jauh dari sisinya. Jika tidak, ia akan melihat pipiku yang bersemu merah. Andai aku bisa berkata jujur, aku pun akan mengatakan hal yang sama. Bahwa aku mencintainya, karena Allah. Sikapnya yang baik, mampu menjadi imamku.

"Tina, kamu nelepon sama siapa?"

Aku gelagapan, "Te-te-teman, Bu. Iya, teman." Segera kumatikan teleponku.

"Bukan Hendi 'kan? Awas kalo kamu masih berhubungan dengan Hendi lagi." Ibu pergi meninggalkanku sendiri yang termenung menatap gawaiku.

***

"Assalamualaikum, Dek Tina!" Jantungku berlari entah ke mana. Senyum konyol itu masih sama. Entah darimana dia tahu alamat rumahku. Tapi hari ini saat aku membuka pintuku, dia ada di sini!

"Uda Hendi?" tanyaku tak percaya. 

"Kaget kan liat aku ke sini?"

Aku melotot. Kutatap tubuhnya dari atas ke bawah. Memastikan kakinya menapak di bumi. Tidak melayang. Aku takut meski pagi yang datang bukanlah Uda Hendi tapi makhluk jejadian yang menirunya.

"Gak nyuruh aku masuk?"

"Pulang kamu, Uda. Sebelum ibu melihatmu!"

"Lho, memang aku ke sini ingin bertemunya ibumu!"

"Waktunya tidak tepat!"

"Aku lelaki yang komitmen dengan janji, Tina. Kamu bisa saja menghindariku di kampus. Tidak menjawab teleponku. Mengacuhkan SMSku. Tapi aku tidak akan menyerah!"

"Tinaaa. Siapa itu di luar?"terdengar suara ibu dari dalam rumah.

"Pulanglah, Uda. Aku takut …."

"Pantang bagiku untuk pulang. Enak aja nyuruh pulang! Kamu pikir dekat apa dari Bogor ke Sukabumi? Macet di jalan tahu!"

"Iya, iya, aku tahu. Cepat pulang, Uda."

"Tina, dengar. Apapun yang terjadi hari ini, aku akan menghadapinya!"

"Tina, tamunya suruh masuk!" Tanpa kuduga, Ibu sudah ada di hadapan kami.

Aku menahan napas, sambil memegang erat-erat gagang pintu. Menjaga agar jantungku tidak copot.

"Siapa dia, Tina?" tanya Ibu saat melihatnya

"U-u-uda Hendi, Bu."

"Ini yang namanya, Hendi?"

"Iya, Tante, eh Bu."

"Berani juga kamu ke sini!"

"Bu, saya mau menjelaskan bahwa …."

"Cukup! Tidak perlu penjelasan! Pulanglah! Maaf, Tina tidak bisa berjodoh denganmu!"

"Bu, jangan teriak-teriak. Malu sama tetangga," bisikku.

"Biar, Tina, ini urusan Ibu. Maaf, Hendi, aturan di keluarga kami, kalian tidak bisa bersama. Titik!"

"Tapi, Bu …." Uda Hendi belum selesai berbicara, Ibu membanting pintu. Selesai semua, tanpa kompromi.

Hari-hari setelahnya merupakan hari terberat bagiku. Januari berhujan, Januari berduka.

Seperti saat ini, aku masih di sini. Menanti keajaiban datang. Harusnya aku bahagia menyambut bulan depan. Karena aku akan wisuda S1-ku.

Harusnya aku bahagia, harusnya aku bersyukur. Menyelesaikan kuliah tepat waktu. Tapi luka ini masih menganga. Menyisakan jejak penderitaan di kalbuku.

Ingin rasanya aku protes pada Tuhan. Mengapa kami dilahirkan pada suku yang berbeda? Mengapa mencintai itu begitu rumit? Tidak semudah mengalirnya air hujan menuju sungai, lalu bermuara menuju laut.

Mengapa dan mengapa? Sejuta tanya itu yang selalu menghantuiku.

***

Pria Pilihan IbuWhere stories live. Discover now