Hati yang Buta

784 101 68
                                    

    Laki-laki tinggi dengan balutan kemeja junkiez warna merah, sibuk menscroll up layar ponselnya. Maeda tergelak sebentar, lalu kembali mengayunkan kakinya bergantian. Gaya laki-laki itu sudah standart untuk menemui clien-nya. Anggap saja perfectionis. Tetapi, bawahan sarung kotak-kotak, mengapa menjadikannya sangat tidak modis?

     "Tepung kedelai....." Teriak Maeda dari seberang pria itu berada.
Lambaian tangan mengikuti seperti pasangan yang telah lama tak dipertemukan.

     Nizar mendongak, otaknya merespons bagus, hingga lambaian tangan ia lakukan juga.

     "Pisang ijo, disitu saja. Kita harus lekas. Clien ku sudah menungguku sejak tadi." Nizar bergegas menaiki punggung motor dan mengenakan helm.

     Bunyi motornya mendominasi suasana sepi di parkiran fakultas ekonomi, karena langit sudah 2 jam lalu menghitam.

     "Cepat naik! Dan ini helmnya." Nizar memerintah Maeda untuk cepat duduk di jok belakang. "Kita sudah telat hampir setengah jam." Sambungnya.

      "Setengah jam?" Helm yang akan dikenakan Maeda, justru dipukulkan ke lengan Nizar. Pria itu otomatis menoleh dan mengajukan protes.

     "Astaghfirullah, Mae. Aku salah apa? Aku hanya bilang cepat naik, bukan? Kenapa malah itu helm dipukulkan ke aku?"

    "Kalau sudah tahu bakal telat, kenapa kamu masih keukeuh buat nungguin aku!" Maeda melipat lengan. Dia tak peduli dengan air muka gemas Nizar.

    "Aku minta kamu buat temenin aku, Pisang Ijo. Bisa kan?"

     "Kalau udah telat, pastinya kamu bisa mikir secara baik harus gimana? Nggak perlu nunggu aku." Mereka sungguh tidak sadar, perdebatan di setiap kalimat telah membuang waktu.

   Harusnya mereka sadar, beberapa dialog tadi sudah hampir lima menit mendurasi.

   "Aku mau nya kamu menemaniku untuk menemui mereka. Pokok kamu. Harus dengan kamu." Nizar memasangkan paksa helm tadi ke kepala Maeda.

    Wanita berhijab maroon dengan gamis bunga-bunga itu, masih tak berkutik. Dia sadar, sikap bodohnya ini semakin membuat waktu tak bersahabat dengan jarak dan clien.

    "Tunggu apalagi! Cepat, Mae. Naik!"

    Jika saja kalian seorang gadis dan berada di posisi Maeda. Apa yang akan kalian lakukan? Seperti apa perasaan kalian? Sangat jelas dan lantang Nizar mengumandangkan, bahwa hanya dengan Maeda dia ingin menemui clien-nya. Hanya dengan wanita yang masih tak bersuara dan tangan kirinya erat-erat memegangi gamis.

    Hanya, tentu menandakan kalau dirinya ialah yang diutamakan. Bersama Maeda, Nizar memberikan seluruh kepercayaan untuk berjalan bersamanya dalam menemui seorang clien.

    ***
  "Kamu sering dicurhati dia soal Nizar?" Fardah dan Yanis memang bukan satu fakultas. Tetapi salah satu organisasi keagamaan paling famous di kampus, menjadikan mereka dekat satu sama lain, tanpa melalui Maeda.

  "He'em. Nizar adalah topik terhangatnya di dua bulan terakhir ini." Duduk berhadapan di gazebo kampus untuk sekedar menguatkan sinyal daring, membuat mereka batal beranjak pulang.

  "Sejauh apa sih mereka? Aku kok mendadak kepo, ya? Kamu kan mantan dan sahabatnya dari dulu. Pastinya tau lah." Fardah mendekatkan wajah, mensinyalir agar Yanis tak lagi menggulir jari jempol pada gadgetnya.

  "Apa nggak salah,nih. Harusnya kamu, Far, yang lebih tau soal dia. Dia sekamar dengan kamu. Lakinya juga satu area dengan kos kamu." Yanis mengangkat wajah, dan Fardah seketika memundurkan tubuhnya.

  "Dia memang cerita sih, soal Nizar. Malah TKP tentang mereka nggak sekali dua kali membuktikan. Tapi, mengapa hanya wanita itu yang tidak punya akal sampai sejauh ini." Lidahnya mungkin pegal, Fardah merogoh permen dari saku tasnya.

  "Namanya juga cinta. Istilah cinta buta itu nggak hoaks. Ke shahihannya benar-benar dahsyat." Yanis juga pegal dengan matanya yang sedari tadi fokus mengamati kumpulan jurnal di HP nya. Merogoh saku tas Fardah tanpa izin, bukan perbuatan dosa.

  "Buktinya hari ini, dua manusia itu sedang janjian menemui clien." Semakin lama, topiknya makin asyik untuk dikulik.

  "Serius kamu? Nizar dan Maeda janjian buat nemuin, clien?" Yanis terperanjat. Benar-benar tak terduga, kelanjutan kisah mantan kekasihnya itu.

  "Iya. Ada apa? Harusnya kamu ngerti lah sebagai sahabatnya."

   "Seharian tadi, kami bersama. Menyelesaikan revisi bab II dia. Tapi, Maeda diam saja kok, nggak bilang apa-apa kalau akan ada acara." Pria yang dijuluki mas boy band, mulai gusar dengan sendirinya.

   "Takut kamu ceramahin mungkin. Atau takut kamu cemburu." Sarkasme yang lumayan. Dua orang ini sama-sama teman dekat Maeda, namun masih merasa kedekatannya diragukan.

  " Aku hanya kasihan sama dia. Semacam HTS dalam kamusnya anak SMA. Suka gemas sendiri lihat Nizar yang seenaknya ngasih harapan." Setelah cukup lama membiarkan jangkrik mengerik, Fardah berargumen.

  "Nggak kamu saja lah,Far. Aku sendiri iya. Maeda itu main otaknya. Tapi masih saja bodoh dalam hal cinta." PC, charger dan vapor yang tadi terpencar letaknya, bergegas Yanis rapikan.

   "Dia kan, paling suka lihat cowok jebolan pesantren. Ya, tipe-tipe Nizar gitu. Tingginya dapet, agamanya boleh lah. Tapi, soal mapan belum menjanjikan." Fardah mengawali agar obrolan itu berlanjut sambil berjalan menuju parkiran.

   "Mapan belum menjanjikan?"

   "Iya. Masih on the way lah. Janjiannya mereka kan buat nemuin clien nya Nizar. Nizar membuka usaha patungan sablon dan konveksi bersama suami pemilik kos kami. " Fardah berniat ingin mengintrogasi Yanis, justru dia sendiri yang berbalik menjadi narasumber

  "Tuh, kamu saja lebih tau detilnya daripada aku." Selangkah dua langkah gazebo mulai mereka tinggalkan.

   "Hehehe, bukannya tadi kita bertemu niatnya buat bahas persiapan religion spectaculer week ya. Ujung-ujungnya jadi ghibah yang tak berujung."

   Tawa Yanis sontak membahana. "Kita doakan saja yang terbaik buat mereka. Terutama Mae. Kalau memang mereka saling suka, ya semoga dipertemukan di pelaminan. Bila tidak, semoga Maeda sadar."

    "Hati yang buta membuatnya akan selalu benar dengan tindakan yang dilakukan. Termasuk perjuangan yang tidak sepantasnya dia lakukan untuk Nizar." Akhir kalimat yang bijak terlantun dari Fardah, sebelum dua manusia itu terpisah oleh area parkir yang membelah.

    Hati yang buta kerap membuat seseorang melakukan hal-hal yang tak masuk akal menjadi masuk akal. Urusan cinta, siapapun tak mau disalahkan bila kelak lubang menyakitkan akan menyambut mereka. Termasuk dengan Maeda yang rela meminjamkan tabungan pribadinya kepada Nizar, yang tujuannya tidak jelas untuk apa.

   Boleh kita jatuh cinta. Siapapun berhak jatuh cinta. Karena cinta datang pun tanpa undangan, dan kepergiannya meninggalkan berbagai jenis pamitan. Jangan sampai menuntun hati menjadi buta hanya karena cinta.

***
Assalamualaikum
Selamat pagi readers
Maeda si perempuan Bucin akut kembali menyuguhkan cerita baru
Semoga kalian suka

Jang Mi
Jum'at, 27 Maret 2020
 
   

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang