Tunas yang Kembali Bersemi

489 79 85
                                    

  "Mas Arok kok bisa ada disini? Gedung pascasarjana kan jauh.  Dan bagaimana Mas bisa menemukan aku?" Maeda ingin beranjak, keduluan Mas Arok yang sudah duduk manis disampingnya.

  "Menemukan kamu urusan gampang, Dik. Tinggal pergi ke fakultas saintek, kalau melihat  mahasiswi dengan gaya paling random ya berarti kamu." Jawab Mas Arok dengan senyum simpulnya.

  Sudah 3 tahun, Maeda tidak pernah bertegur sapa dan bincang-bincang seperti ini. Soal bertemu, dia sesekali menjumpai Mas Arok yang sekedar melintasi jalan fakultas saintek, memberi materi kepada juniornya, atau keluar masuk gedung pascasarjana.

  Mas Arok yang masih sama tampilannya. Tetap tenang saat dia bicara, maupun cara dia menatap Maeda yang selalu membuat wanita itu salah tingkah sendiri.

  "Mas apa kabar? Kuliahnya bagaimana? Ciyee, habis ini nama belakangnya semakin panjang." Memikirkan Nizar yang tak berujung dengan perempuan tadi, hanya membuat Maeda membuang-buang waktu.

   "Alhamdulillah, Dik. Doakan Mas Arok bisa mengikuti wisuda di akhir tahun ini." Mereka duduk dengan sekat tumpukan buku-buku tebal.

  "Aamin. Pasti bisa lah, Mas. Mas Arok kan, istimewa. Identik dengan buku-buku tebal, kuliahnya full organisasi, dulu juga bisa menyelesaikan sampai semester 7. Trus," Maeda setengah berpikir.

  " Dikejar-kejar banyak perempuan, termasuk kamu yang nggak nyerah, padahal aku udah jelas-jelas menghindar." Respon Mas Arok membuat Maeda hanya mencebikkan bibir.

   Nyatanya demikian, 3 tahun lalu, dia boleh dibilang bodoh, saat Arok menunjukkan sikap ketidak tertarikan.

  "Mas, masa lalu yang pahit, kenapa sih harus diungkit kembali." Bibir Maeda manyun. Ya, ini karena bayangan masa lalu yang diungkap Arok sekaligus membuat otaknya menampilkan slide show kisah mereka.

  "Siapa yang bilang pahit? Kalau semisal pahit, kenapa sampai sekarang aku masih mengingatnya?" Arok menengok wajah Maeda yang masih masam.

  "Kenangan manusia yang paling diingat hanya ada dua. Paling menyakitkan dan menyenangkan. Mungkin saja, cerita 3 tahun lalu kita adalah bagian dari yang menyakitkan."
    Argh, kedatangannya membuat hati Maeda kembali tak tenang.

   "Maeda. Belum-belum kok suudzan sih. Nggak boleh seperti itu." Arok menepuk pelan lengan Maeda, meminta agar wanita itu membalas tatapan matanya.

   "Dengarkan aku, ya. Asal kamu tahu, kamu, Maeda Salsabila Cahyani, kamu bukan bagian dari masa lalu yang pahit. Entah kenapa, aku tidak tahu. Justru, dari sekian banyak perempuan yang menggilaiku, kamulah yang paling menarik." Ungkap Arok tulus.

   "Jangan membuatku senang, Mas." Maeda meragukan. Bukan, dia paham, Arok tak pernah main-main dengan ucapannya. Maeda hanya memastikan.

   "Apa perlu aku buktikan sekarang?" Arok seketika mengambil laptop dari tasnya.

   Maeda semakin penasaran, apa yang akan ditunjukkan Arok kepadanya. Sebuah tulisan misal, Maeda mengetahui, Pemred ini sudah menghasilkan tulisan fiksi dan non fiksi yang terpapar di segala media.

   "Maeda, kamu ingat, ini foto diambil kapan dan dalam rangka apa?" Tanya Arok, ketika beberapa foto Maeda terslide disana.

  "Bukankah itu acara Ospek jurusan yang di gelar di Kota Malang? 3 tahun lalu, saat aku mengagumi kamu, Mas." Maeda bergantian memandangi layar laptop dan wajah Arok.

   "Bukan hanya ini." Arok menggeser cursor, mengklik sebuah folder yang diberi nama shadiqati.

   Maeda membekap mulutnya karena terkejut. Mas Arok selama kuliah memang aktif di organisasi. Salah satunya menjadi koordinator departemen fokustik dan kerap membawa kamera saat ada event-event jurusan.

  Dari acara ospek jurusan, dies natalis jurusan, debat antar fakultas, dan saat wisudanya yang kala itu, Maeda ada di galeri kameranya.

  "Kamu berbeda, Maeda. Kamu tidak sama dengan perempuan yang lain. Dan Mas Arok senang, saat sikap random kamu tidak lagi kamu biakkan." Arok mengklik salah satu foto, dimana layar laptop menampilkan Maeda tersenyum dengan ekspresi candid.

   "Terimakasih banyak, Mas. Tetapi, kamu bicara seperti ini, nggak ada maksud yang kamu sembunyikan bukan?" Maeda masih meragukan sikap Arok yang diluar ekspektasi ini.

  "Ya Allah. Kamu sekarang kok meragukan aku, Mae. Buat apa coba Mas Arok merekayasa. Mas Arok, sudah menganggap kamu adik. Shadiqati, yang artinya teman perempuanku. Bahkan lebih dari itu." Arok menekan tombol silang kanan atas dan shutdown secara beruntun.

   Maeda masih tak habis pikir. Bagaimana mungkin, idola kesayangannya itu bisa lebih dari sekedar menarik. Dulu, setiap ke kampus, setiap berpapasan, atau sekedar menerima pesan, perasaannya suka hilir mudik.
   ***

  Kemudian, sejak dia merasa Arok tidak lagi merespon segala tindakan anehnya, bersamaan itu pula, segenap perasaannya terhenti. Maeda mencoba bersikap biasa, sekalipun Arok cukup kuat menarik perhatian matanya.

   Acara wisuda yang di impikan Maeda untuk satu frame dengan Arok, juga dibatalkan dalam catatan hidupnya. Namun, pria itu memiliki beberapa foto di momen wisuda yang di ambil secara diam-diam.

   "Mae, nomor kamu ganti, ya? Kok setiap aku WA, selalu centang satu. Atau mungkin, kamu blokir aku?" Ini pertanyaan yang harus dicatat Maeda dengan baik. Arok baru saja mensinyalir, bahwa dia secara perlahan akan memasuki hidupmu.

  "Iya, nomor aku ganti, Mas. Aku nggak pernah kok blokir nomer orang." Setelah ia sempat mengira kedatangan Arok sebagai beban tambahan. Hati Maeda sekarang damai.

   Seperti ada ratusan palem yang menggoyangkan dahannya di sekitar tubuhnya.

  "Mas minta nomer, WA kamu. Nanti, sepertinya kita bakal sibuk." Jemari Arok sudah siap mengetik.

  "Kita? Nanti? Sibuk apaan, Mas? Kok sama aku?" Hari ini, Mas Arok berhasil meledakkan perasaannya.

  "Mulai hari ini, kamu bakalan sibuk sama Mas Arok. Tesis Mas Arok sudah on the way, jadi kamu harus bantu aku buat menyelesaikannya."

  Mas Arok? Kenapa kamu datang di saat perasaanku gonjang-ganjing, sih.

   Batinnya sudah bergelut dengan logika. Maeda harus mengunci hatinya, agar tak mudah terseret arus anak muda yang dinamakan BUCIN. Dia harus siuman, masih ada Nizar yang sudah jelas dekat dengan dia.

  "Ayo, mana nomer kamu, Mae. Mas Arok udah siap ngetik, nih." Pria lain mungkin kakinya sudah kebas- kesemutan, menanti secarik angka yang dimulai +62 dari Maeda.

"Sepuluh detik lagi, notifikasi akan muncul di WA kamu, Mas." Jempol Maeda mengetikkan sesuatu disana.
 
+628564956xxx
  Mas, jika memang kamu mempercayaiku untuk membantu menyelesaikan TESIS. Maka, bantu pula, agar hatiku tak mudah terguncang saat kamu perlahan memasuki kehidupanku.

   Belum genap sepuluh detik, Arok memilih duduk kembali. Dia tak bersuara, dia cukup tercengang dengan pesan WA Maeda. Syukurlah sebentar, kemudian dua manusia itu saling melempar senyum.

***
Assalamualaikum,
Salam literasi
Nih update Maeda dan kawan2
Semoga malam jum'at kalian terhibur yaa

Jang Mi
Kamis, 02 April 2020
  
 

 

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang