Setitik Cahaya

534 77 118
                                    

   Tepung Kedelai
   Semalam sampai rumah langsung tidur kan?
 
  Maeda yang biasanya bersemangat mengusap touchscreen ponsel, saat mendengar notifikasi khusus dari Nizar tampak lesu.

  "Biarin, biarin. Biar dia belajar gimana perasaan perempuan pas diturunkan di tengah jalan tiba-tiba." Sudah pukul sembilan pagi. Tetapi, dia masih enggan menggerakkan tubuhnya dari tempat tidur.

  Tepung Kedelai
  Bales napa! Jangan marah donk, sama aku. Makan bareng yuk! Aku yang traktir.

    Notifikasi khas itu kembali berdering. Maeda hanya melirik, biar bagaimanapun hatinya masih kesal dengan perbuatan Nizar semalam.

  "Udah, jangan WA aku lagi. Kamu kok nyebelin banget sih, Zar. Sukanya tarik ulur perasaan." Maeda menekan tombol power, dan layar hitam lah yang ditemukan setelah itu.

  "Nih, Yanis nelpon. Kamu ditunggu dia di kampus. Hari ini proposalnya di seminarkan." Fardah muncul tiba-tiba dengan bawahan selutut dan atasan tanpa lengan.

  "Assalamualaikum, iya ada apa,Nis?" Telepon di tangan Fardah sudah menempel di telinga kiri Maeda.
 
  "Kamu nggak ingat hari ini ada apa? Aku segitunya ya, dimata kamu, Mae." Suara diseberang menirukan pasangan posesif saat kekasihnya lalai.
 
  "Iya, maaf. Namanya juga lupa, Nis. Giliran kamu jam berapa? Semoga berhasil dan revisinya nggak teramat banyak." Maeda bangkit dan langsung menarik handuk dari gantungan.

  "Amin Ya rabbal alamin. Cepet kesini. Kamu kan sahabat aku, temenin aku lah setidaknya. Semangatin aku juga. Hehehe." Pagi-pagi kalimat sengak meluncur dengan lancar ke telinga Maeda. Sayangnya bukan dari Nizar.

  "Semalam kamu mimpi apa? Tumben banget bilang begitu?"

  "Nggak mimpi apa-apa sih. Cuman, lebih baik aku kan yang ngucapin, daripada Nizar teman kamu yang gak jelas itu." Mereka malah saling sindir.

  "Yasudah, habis ini aku kesitu. Kamu di gedung saintek ruang apa? Biar nanti pas sampai kampus, nggak muter-muter lagi." Kamar Maeda ada di lantai atas, sekarang wanita itu sudah mengambil perkakas mandi yang berjajar rapi di sebuah meja.

"Gedung Saintek A lantai 3, ruang 305. Aku tunggu ya, mantan aku yang manis." Tanpa menarik selanjutnya, Maeda sudah mengakhiri panggilannya bersama Yanis.

***
   Pisang Ijo

   Iya, aku langsung tidur. Aku nggak marah kok. Dan, maaf hari ini aku ada janji dengan Yanis. 😊🙏🙏

    Pesan itu sampai 3 jam kemudian, dari balasan pria yang saat ini sedang berdiri di balkon lantai atas.

    Raut muka tak seceria kemarin. Rambutnya acak-acakan dengan kaos dan sarung yang dikenakannya dari 2 hari yang lalu. Bersama secangkir kopi, Nizar memandangi suasana hari ini dengan sedikit frustasi. Pesan Maeda barusan hanya dibacanya, dan dia tak minat membalas.

    "Apa lagi yang kamu pusingkan? Konveksi itu lagi? Bukankah belakangan sedang lancar dan berjalan pesat?" Mas Ikhya', adik Mbak Inayah yang seringkali Nizar ajak diskusi soal usaha dan kehidupannya.

    "Bukan, Mas. Tetapi soal wanita."
 
   Mendengar jawaban Nizar, Mas Ikhya' seketika terpingkal. Pria yang berprofesi sebagai dosen di salah satu kampus bonafide di Bandung itu, menyikut lengan Nizar dan memberi acungan jempol semangat.

    "Hanya jempol semangat. Mas, aku hanya bimbang dengan dua wanita. Satunya aku sengaja mendekatinya, karena memang aku menyukainya. Dan satunya lagi, aku sebatas ingin berteman, tetapi belakangan dia membuat kepalaku jadi tak karuan-karuan memikirkannya." Begitu mudahnya Nizar berterus terang tanpa beberapa pertanyaan yang diajukan.

    "Siapa? Jangan bilang mahasiswi ku yang ngekos disini. Maeda, bukan?" Tebak Mas Ikhya', Nizar pun mengangguk lesu.

    "Mulanya kami hanya berteman. Tetapi, lama kelamaan dia sangat menarik bagiku. Ku akui, Maira lebih cantik dibanding dia. Dan Maeda, dialah yang berpeluang besar mengguncangkan perasaanku." Tubuh pria itu mungkin pegal, berdiri sambil menopangkan lengan pada pagar besi.

   Mas Ikhya' sudah duduk bersama buku filsafatnya sejak tadi. Sekarang giliran ponakannya yang menyempurnakan di seberang.

   "Pria yang baik itu harus mampu memilih salah satu dari sekian banyak perempuan yang dekat dengan kamu. Supaya tidak di bilang kurang ajar dan memiliki pendirian yang baik, ya kamu pilih saja satu diantara mereka." Mas Ikhya' berujar tanpa melihat Nizar yang sudah gusar. Cangkir kopi yang tadi dipegangnya, sudah kosong tak tersisa.

   "Lalu? Apa aku harus memilih satu diantara mereka?"

    "Iya. Ku sarankan, kau pilih mahasiswi ku. Dia gadis smart dan baik. Soal wanita yang bernama Maira, aku sempat mendengar kasak kusuk yang kurang mengenakkan." Mata Mas Ikhya' tak afdhal bila hanya mengamati huruf yang terangkai menjadi kata.

   "Tapi aku nggak ada perasaan sama dia. Maeda, sudah ku anggap sahabat dekatku. Meskipun, belakangan pikiranku selalu tersita untuk dia." Keponakan tertua Mas Ikhya' ini memang sedikit kepala batu.

   "Yasudah, jangan dekati dia lagi. Karena perasaan wanita itu rawan dan sensitif. Kamu boleh dekat dengan dia, asal jangan memberi ruang yang lebih untuk bersamamu." Profesi dia sebagai dosen mata kuliah konseling memang tidak diragukan. Buku tadi diangkat bersama tubuhnya yang ikut beranjak.

    "Maksud Mas, bagaimana? Aku tergolong PHP? Sudah jelas bukan, aku hanya menganggap dia teman?" Nizar masih saja ngotot di hari yang tak lagi pagi ini.

    "Tapi kedekatan kamu dan dia tidak wajar , Nizar. Kamu boleh mencintai seseorang, boleh memilih dia sebagai kekasih dan segera menkhitbahnya. Namun jangan sampai menyakitinya, dengan bersikap sangat perhatian dan manis, sama saja kamu memberi harapan untuk dia."

    Mas Ikhya' nalarnya memang bagus. Nizar akui sebagus Maeda. Tapi, untuk pria yang hanya lulusan pesantren tanpa pendidikan lanjutan ini, membuat Nizar bungkam tak bisa menjawab. Kata-kata Mas Ikhya' teramat sulit dipahami, hingga Nizar memutuskan meninggalkan dia lebih dulu.

    "Ikhya' meminta kamu bijak mungkin, dalam berteman dengan lawan jenis. Dan, memang sih kalau Mbak lihat, perlakuan kamu ke Maeda harus sedikit di renggangkan, Jangan teramat intens." Mbak Inayah sepertinya mendengar obrolan mereka tadi.

   Bagi Nizar teramat bodoh sekali, yang terpenting di pikirannya sekarang menelpon wanita yang tentu saja berada di kampus menghadiri seminar proposal temannya.

     Nizar mengakui dia keras kepala, mungkin story WattssAp Maeda yang berfoto dengan Yanis sambil tersenyum mengacau pikiranya untuk segera berbicara dua mata dengannya. Besar kemungkinan pula, pembicaraan dengan Mas Ikhya' tadi yang menyarankan dengan wanita setengah tomboi itu.

***
Assalamualaikum
Semoga kita semua tetap sehat yaa
Jangan lupa baca, vote dan kasih komentar ya gaes

Jang Mi
Selasa, 31 Maret 2020

Sebening Cinta Maeda [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang