BAB 2. Dini Hari; Jogja Tak Istimewa, Lagi.

25.2K 1.9K 224
                                    

2863 kata menyapaaaa

Bab 2 spesial buat Febriyana yang kemarin berulang tahunnnn (salah satu pembacaku yang setiaaaa)

Jangan lupa support author dengan cara vote dan komennnn yaahh!!!

~Selamat Membaca~

BAB 2. Dini Hari; Jogja Tak Istimewa, Lagi.

"Seperti bianglala, setiap sangkar yang kita duduki akan bergulir, mulai dari bawah, perlahan-lahan ke atas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Seperti bianglala, setiap sangkar yang kita duduki akan bergulir, mulai dari bawah, perlahan-lahan ke atas. Akan ada tawa setelah air mata, cinta yang jauh lebih besar akan datang setelah patah hati yang sangar. Suka, duka, untung, malang, susah senang, semua ada masanya, semua punya bagian dan waktu sendiri-sendiri."





Aroma cairan antiseptik yang khas mengecup indra penciumannya. Berdirilah Zivana di perkarangan rumah sakit, setelah melewati perjalanan panjang bersama ambulan. Terpaku langkahnya bagai diberi perekat yang menjadikannya tak bisa bergerak. Suara keributan beberapa jimpit orang, bunyi beberapa sepatu menghantam lantai, isak tangis, membuatnya gemetaran. Dia pejamkan mata mencoba mengais sisa ketenangan, tapi sialnya tidak ada. Justru genangan darah dan ringisan yang dia dapatkan dalam pejaman itu. Saat membuka mata, tersuguh sebuah pemandangan di mana dokter dan beberapa perawat mendorong brankar yang diisi seorang lelaki berseragam sekolah, brankar itu menjauh, terus menjauh dan perlahan-lahan menghilang di balik pintu berlabel UGD.

Sepasang suami istri terlihat mengekor masuk. Duduk menunggu kabar baik tentang keadaan anak tunggalnya yang mengalami tabrak lari. Suaminya berusaha tenang agar bisa menjadi penguat istri yang wajahnya sudah dibanjiri air mata. Dielusnya punggung telapak tangan wanita tersayang demi mentransfer kekuatan. Sementara Zivana, dia duduk di atas lantai dingin, bersandar pada dinding, hanya bisa menyaksikan pemandangan itu dengan perasaan bersalah yang penuh diiring doa yang sungguh.

Seharusnya, yang ada di atas brankar, masuk ke dalam UGD, sekarat nyawanya adalah Zivana. Bukan Raja Shakuntala—orang baik yang tidak pantas menderita. Tidak terbayang betapa sakitnya ketika tubuh kurusnya dihantam mobil dengan keras, terlempar jauh hingga kepalanya pecah dan mengeluarkan banyak darah. Zivana mendongak, menatap langit-langit koridor, lebih tepatnya menatap pendar lampu yang biasanya mengantarkan Zivana pada satu jam sebelum berada di sini.

"Ja, bertahan ya. Sebentar lagi. Sebentar lagi ambulance datang."

Raja berupaya menggerakan tangannya untuk menggapai paper bag di dekatnya terbaring, dia mengeluarkan sesuatu dari sana. Ialah kotak musik bianglala yang mereka lihat di pasar Beringharjo tadi pagi—Raja membelinya diam-diam. Lelaki itu berusaha tersenyum agar Zivana tak khawatir dan takut melihat keadaannya yang bersimbah darah. "Ayo dengarkan sekali lagi. Instrumennya bagus. Aku mau mendengarnya sekali lagi, bersamamu, Pra."

YuanfenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang