1.2 || Pingsan

1.5K 160 12
                                    

Sampai lapangan, seperti yang Vanya ucapkan, aku meminta untuk berbaris di tengah-tengah berharap para guru tidak mengetahui keberadaanku.

Aku kira semua akan berjalan lancar seperti bayanganku, tapi ternyata tidak.

"Yang tidak pakai topi, harap maju ke depan!" kata Pak Dayat dengan lantang. Tidak ada yang berani berbohong ataupun berkehendak kalau Pak Dayat sudah menyuruh ataupun berbicara, kepala sekolah yang sangat menakutkan bagi seluruh siswa/i di sekolah ini.

Dengan malu, aku maju untuk datang ke Pak Dayat. Ternyata, hanya aku yang tidak memakai topi. Astaga, aku sial sekali hari ini.

"Kamu! Kenapa tidak memakai topi?" tanya Pak Dayat yang membuatku takut dan hanya bisa menunduk.

"I-itu pak, t-topi saya ketinggalan," kataku gugup.

"Kenapa bisa? Pasti kamu kesiangan, kan?" tanya Pak Dayat dengan mata tajam.

"I-iya pak," jawabku takut.

"Sudah! Kamu saya hukum untuk berdiri di bawah bendera sampai jam pertama dan kedua berakhir!" perintah Pak Dayat. "Sekarang, kamu di belakang barisanmu dulu!" sambungnya.

Aku pun berlari kecil untuk langsung ke belakang barisan karena malu semua orang memperhatikan ku.

Sekarang upacara sudah selesai, dan aku pun segera berjalan ke arah bendera. Aku berdiri di depan tiang itu sambil mengangkat tanganku, hormat.

Satu jam pelajaran sudah berakhir, aku menoleh ke sebelah kiriku karena ada suara hentakan kaki yang berlari. Aku menyipitkan mataku berusaha melihat dengan jelas siapa orang itu.

"Loh? Gavin?" Aku terkejut karena Gavin berhenti ke arahku lalu ikut hormat di sebelahku. "Lo, dihukum?" tanyaku.

"Iya," jawabnya.

Aku pun hanya ber-oh ria dan melanjutkan aktivitasku, hormat pada bendera.

Tiba-tiba saja, aku merasakan pusing di kepalaku. Jangan sampai aku pingsan, ini baru satu setengah jam pelajaran.

Rasanya aku sudah tidak bisa menahan rasa sakit di kepalaku ini, semua pandangan buram, dan telingaku hanya mendengar dengungan.

bruk

Aku terbangun dan mendapati diriku yang berada di atas kasur, aku ingin duduk namun rasa sakit di kepalaku tidak mendukung.

"Lo udah bangun?" tanya seseorang yang membuatku langsung menoleh.

"Gavin?!" aku terkejut setelah mendapati Gavin yang berdiri di sebelah ranjang tempatku berbaring.

"Lo, lo ngapain di sini?" Aku pun mencoba untuk duduk, lagi.

"Tadi lo pingsan, ya gue gendong," jelas Gavin yang membuatku membulatkan mataku.

hah?! Anjir?! Gendong?! -batinku.

"T-tadi rame gak?" tanyaku khawatir sebentar lagi akan menjadi bahan bully orang-orang yang menyukai Gavin.

"Em... Lumayan sih, kenapa?" Aku mengepalkan tanganku dan berusaha tetap tersenyum walaupun terpaksa.

Apakah Gavin tidak mengerti? Atau pura-pura tidak mengerti? Tidakkah dia memikirkan apa yang terjadi selanjutnya padaku bahwa mereka semua melihatku digendong oleh Gavin?

"G-gapapa." Tanganku tetap mengepal di atas kasur dan memasang senyum terpaksa.

"Oh," jawabnya. "Lo mau pulang?" tanyanya lagi.

"Nggak, gue udah gapapa." Aku memang sudah baik-baik saja, tapi tolong, untuk keluar saja aku tidak berani.

"Mau balik ke kelas?" Belum sempat aku menjawab. "Ayo, gue anter," sambung Gavin.

INSECURE [✔]Where stories live. Discover now