Menang atau kalah

92 11 2
                                    

Gadis itu telah siap dengan perlengkapannya, ini kedua kalinya saat tepat akan bertanding pikirannya kacau balau. Ia menginginkan untuk melupa kali ini, tapi tidak bisa. Ia menatap pria yang tengah memakai kaos kaki, Irsyad yang sadar mengadahkan kepalanya menatap Afsin.

Irsyad mendekati gadis itu, "Ada apa?"

Afsin menggelengkan kepalanya, pria itu tahu jika gadis didepannya ini tengah berperang dengan pikiran dan hatinya. Ia telah salah menentukan waktu, seharusnya ia menunggu lebih lama lagi. Tapi ia tidak bisa berbohong lagi, ia harus mengatakan yang sebenarnya.

"Untuk sekarang jangan pikirin hal-hal yang gak penting, kita fokus dulu ya?" Afsin menganggukkan kepalanya lalu berjalan menjauh dari Irsyad. Afsin berdiri semeter dari jaring hijau sebagai pembatas antar pemain.

Irsyad terdiam beberapa saat lalu mulai melayangkan kok kearah lawan.

-o0o-

Arya menatap pria yang tengah lapangan, berdiri di belakang kakaknya dengan tatapan yang sulit diartikan, ia duduk dibagian pojok sambil mengamati Irsyad dengan teliti sembari menunggu pria lain yang ayahnya katakan. Rey, dia kakak dari Afnan.

Tak sengaja ia melihat seorang pria berkacamata duduk disebelah sahabat kakaknya, ia tahu bahwa dia yang bernama Ray. "Hai Arya, tumben kamu duduk disini? Biasanya di depan," Arya terdiam beberapa saat lalu menoleh ke arah pria yang berdiri di belakang Ara.

"Hehe iya kak," ucap Arya.

"Oh iya, kenalin ini kak Danis." Arya menerima uluran tangan pria itu, lalu membisikkan sesuatu tepat ditelinga kanan Danis.

"Aku mau ngomong sebentar sama abang," Danis yang paham akan pria yang ia kenal sebagai adik dari Afsin pun mengangguk lalu mengikuti kemana pria itu pergi.

"Sebentar ya," Ara menganggukkan kepalanya lalu berjalan menuju tempat duduk yang tak jauh dari tempat Arya terakhir duduk.

Arya berhenti saat berada di tempat yang cukup jauh dari tempat pertandingan, ia memutar tubuhnya menatap pria yang kini didepannya dengan sorot mata berbeda seperti saat bersama Ara. "Abang yang namanya Rey? Dan yang mengaku sebagai Afnan di depanku waktu itu?"

Danis menatap Arya lalu menyentuh pundak pria itu, "maafkan aku Arya, sebelumnya kenalin namaku Reyhan Danisiar. Iya benar aku yang kemarin mengaku sebagai Afnan, maaf atas nama Afnan karena dia yang memintaku untuk melakukan ini. Dan maafkan atas namaku sendiri," Danis masih menyempatkan untuk tersenyum walaupun tipis.

"Dan setelah aku tahu bahwa kamu menolak untuk Afnan kembali, apa kamu tahu siapa Afnan sebenarnya?" Arya masih diam tak bergeming, sorot matanya sendu.

"Aku tak ingin mengetahuinya bang, tolong bantu jaga perasaan kak Afsin. Aku mohon," Arya menundukkan kepalanya, tak ada niat sama sekali untuk melukai perasaan kakaknya. Kakak nya terlalu banyak merasakan sakit saat pria yang dicintainya pergi untuk waktu yang lama.

"Kenapa Abang berbohong? Kenapa Abang mengaku-ngaku sebagai kak Afnan? Kenapa?" Tanya Arya pelan lalu berusaha melepaskan tangan Danis dari pundaknya.

Danis menatap pria di depannya lalu menutup matanya sejenak, "aku tak akan memberitahu siapa Afnan sebenarnya, biarkan dia yang mengakuinya sendiri."

Arya menatap Danis lalu menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk garis lengkung, "akan ada hal yang tak kamu bayangkan terjadi. Jadi, aku meminta agar kamu luaskan sabarmu." Danis menepuk pundak pria itu pelan, lalu tersenyum hangat.

"Apa ingin melewatkan pertandingannya?" Arya yang sadar langsung berlari ke arah lapangan lalu kembali ditempat duduknya yang tak jauh dari Ara.

Danis memilih untuk duduk disebelah Arya, menjaga jarak dengan Ara yang terpisah 6 kursi. Ara mengetahuinya hanya mengangguk paham lalu tersenyum tipis.

-o0o-

Skor telah tertinggal jauh, selisih 12 point pertama. Dan kini babak kedua harus bisa mengalahkan lawan, tekad Afsin bulat ingin mengejar point itu. Waktu istirahat pertama Afsin gunakan untuk minum dan mengelap wajahnya dengan handuk.

"Apa yang membuat seperti ini Risa?" Tanya pria tua yang berseragam guru disebelah Irsyad, gadis itu hanya menundukkan kepalanya tak bersuara.

"RISA SEMANGAT!!!" Lihatlah sekarang, Devan telah bersorak, padahal dia tadi tak berbicara apapun. Pikiran Afsin semakin kacau, beberapa kali gadis itu memegang kepalanya.

Afnan kembali, Irsyad tengah berjuang dan Devan masuk sebagai pengganggu. Rasanya ingin amnesia sekarang, keadaannya sangat tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

Pria yang ia cintai telah kembali saat hatinya telah terbuka untuk seseorang dengan rasa sabar tingkat tinggi seperti Irsyad.

'Aku mencintainya dan aku menginginkan dia, merekapun begitu setahuku. Seandainya saja mudah untuk menghilangkan rasa, aku ingin pergi dan melupakannya. Agar aku dan kalian baik-baik saja' Afsin mengangkat kepalanya mendongak keatas berharap air matanya tak menetes.

Setelah pluit berbunyi, kini waktu pertandingan dilanjutkan. Afsin menatap Irsyad sejenak lalu kembali pada posisinya, dan berharap usahanya kali ini akan berbuah manis.

Devan kembali diam, tak bersorak. Ia hanya mengamati setiap permainan gadis itu, tatapannya tak teralihkan sedikitpun. Hingga matanya hampir keluar dari tempatnya, bagaimana tidak? gadis itu mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

"Kamu memang hebat Risa," gumam Devan mengusap wajah nya kasar.

Afsin mencuri waktu untuk melihat ke arah Irsyad sebagai motivasinya, ia tidak ingin mengecewakan partner bertandingnya karena masalah pribadi. Sampai akhirnya mereka dapat mengejar ketertinggalannya. Hanya kurang satu babak lagi sebagai kesempatan untuk menang,

Arya bersorak keras saat kakaknya kembali mendapatkan point, beberapa kali ia menepuk bahu pria disebelahnya. "Kakak memang terbaik!" Danis yang mendengar itu tersenyum.

Setelah pertandingan selesai, Afsin memilih pulang dengan membawa mendali perak. Arya tersenyum melihat kakaknya itu tak kembali murung seperti awal pertandingan, "hampir aja aku putus asa kak." Afsin menoleh ke arah adiknya itu.

"Kenapa?"

"Kenapa kakak bertanya? Lihatlah bagaimana penonton tadi kak? Mereka sudah bersorak sampai-sampai salah satu diantara mereka kehabisan suara. Nyatanya memang kakak bukan tipe orang seperti aku. Kalau iya, Astaghfirullah hal'azim aku ga bisa bayangin kakak yang nyerah gitu aja." Jelas Arya yang masih menyetir mobil, gadis itu tersenyum menatap wajah adiknya itu.

"Alhamdulillah," ucap Afsin yang dijawab anggukkan oleh Arya.

Setelah sampai di rumah, mereka langsung menuju kamar lalu membersihkan diri dan mulai bergulat dengan tugas yang sudah menunggunya sebelum mereka membuka pintu. Afsin melangkah keluar kamar lalu berjalan menuju dapur, sekedar untuk membuat coklat panas untuk membantu memperbaiki mood nya.

Afsin tahu bahwa orang tuanya akan pulang larut malam, hingga ia memutuskan untuk memasak. Afsin hanya menyajikan nasi goreng dan beberapa campuran ayam dan telur untuk dirinya dan Arya.

Arya yang mencium bau makanan langsung menuju dapur sebelum kakaknya memanggilnya, dengan pelan ia melahap makanannya tanpa suara. "Dek," Arya mengangkat kepalanya menatap Afsin yang tengah tertunduk.

"Apa kamu yakin kalau Afnan kembali?" Arya terdiam lalu menganggukan kepala sebagai jawabannya.

Afsin menghela nafas panjang lalu tersenyum kecut, "aku sedang berusaha membuka hati untuk Irsyad." Arya menatap kakaknya penuh tanya, apakah ia tidak salah dengar? Arya akan sangat senang apabila kakaknya akan menerima Irsyad.

"Kakak tak perlu pikirin bang Afnan, coba kakak terima kak Irsyad seluruhnya. Aku yakin kakak bisa," ucap Arya mencoba meyakinkan.

Tak sesederhana meminum air untuk sekedar melupa, tak semudah berucap aku menginginkan mu, ini terlalu sulit untuk menerima kembali yang telah pergi.

TBC

Itsnani A [TAHAP REVISI]Where stories live. Discover now