plate 5·4

238 27 0
                                    

Sambil menunggu kehadiran Helen, aku duduk pada salah satu meja yang terletak di sudut restoran itu sambil meneguk jus yang sudah hampir habis.

"Sorry, tadi macet" ucap Helen sambil melepaskan kacamata hitam serta topinya.

"Gue udah temuin dalang di balik semua ini"

Dengan cepat Helen menarik bangku yang ada di depannya dan duduk berhadapan denganku.

"Siapa?"

"Umm, mungkin lo ga duga ini tapi-"

"-buruan ah, gue ga bisa lama-lama"

"Orang itu Rayhan"

Helen menatapku sambil terdiam. Beberapa detik kemudian, ada seulas senyum pada wajahnya sebelum ia pergi meninggalkan meja itu.

Aku melangkah dengan cepat untuk mengejarnya yang sudah beberapa langkah di depanku.

"Helen, dengerin gue dulu" ucapku sambil menahan lengannya.

"Apa? Sekarang lo mau nuduh orang yang gue sayangin juga? Lo tuh keterlaluan tau ga?"

Ia menarik lengannya secara paksa dariku dan berjalan masuk ke dalam mobilnya. Sebelum ia sempat menutup pintu mobilnya itu, aku menahannya dengan kakiku.

"Silahkan lo pikirin sendiri setelah liat ini" aku meletakkan amplop coklat pada pangkuannya dan menutup pintu mobil itu.

Rasanya kesabaranku sudah berada di ujung tanduk. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya lebih mempercayai ucapan seseorang yang baru ia kenal untuk beberapa tahun ketimbang mendegar ucapan saudaranya sendiri.

Setelah membalik badanku, aku melihat Keenan yang sedang berdiri di depan pintu sambil menatapku. Aku memasang senyum yang sedikit dipaksakan pada wajahku dan berjalan melewatinya.

Dua hari telah berlalu sejak aku memberikan dokumen itu kepada Helen. Tidak ada kabar sedikit pun darinya, hingga membuatku cukup pasrah akan hal ini. Aku rasa bukti itu sudah lebih dari cukup untuk meyakinkannya, yang dapat ku lakukan sekarang hanyalah menunggu.

"Ouch!" ucapku sambil mengangkat jariku yang tidak sengaja tergores oleh pisau.

Sembari membasuhnya dengan air dingin, aku mendengar suara bel yang datang dari pintu apartemenku. Dengan cepat aku berlari ke arahnya dan membuka pintu itu.

"Besok jam 9 pagi, gue jemput lo di lobby" ucap Helen sebelum berjalan meninggalkan apartemenku.

***

"Bro, malam ini jadi kan?"

"Jadi dong" ucap Rayhan sambil mengambil korek api dari tangan Arief untuk menyalakan sebatang rokok yang sudah berada pada mulutnya.

"Lo.. yakin ga bakal ketauan cewe lo?"

"Ga lah, secara dia kan lagi sibuk-sibuknya benerin image-nya itu di TV" balas Rayhan sambil tertawa puas.

"Permisi Pak Rayhan, ada yang ingin bertemu dengan anda" ucap Sarah, asisten pribadi Rayhan.

"Nanti aja, bilang saya lagi sibuk"

"Sibuk ngapain?"

Kehadiran Helen cukup membuat Rayhan terkejut. Dengan cepat ia meletakkan rokoknya pada piringan kecil yang berada pada mejanya.

"Babe, kamu datang kok ga ngomong-ngomong sih" Rayhan berjalan menghampiri Helen dan berusaha untuk memeluknya tapi, hal itu ditolak oleh Helen yang malah mendorong Rayhan.

"Arief, tolong tinggalin kita dulu"

Arief pun dengan cepat bergerak meninggalkan ruangan itu.

"Selama bertahun-tahun aku percaya sama kamu, ternyata ini yang kamu lakuin ke aku sebagai balasannya?"

"Maksudnya? kamu ngomong apa sih? aku ga paham" balas Rayhan sambil menatap Helen bingung.

Helen mengeluarkan selembar kertas dari tas miliknya dan melemparnya ke arah Rayhan.

"Jelasin, ini maksudnya apa?"

Rayhan mengangkat lembaran kertas itu dari lantai dan membacanya. Ia tersenyum sinis sambil menatap Helen.

"Terus kalau memang gue lakuin ini, kenapa?"

Helen mengepalkan tangannya, berusaha untuk menahan amarahnya.

"Memangnya lo bisa apa hah? Lo mau aduin gue dengan bukti ini?"

Rayhan mengangkat kertas itu dan merobeknya tepat di hadapan Helen.

"Silahkan kalau memang masih ada yang bisa percaya sama lo, reputasi lo dan adik lo itu udah hancur!"

"Dengan ini, mungkin kita bisa dipercayai" aku melangkah masuk ke dalam ruangan Rayhan dan mengambil sebuah pen yang terletak pada saku celana Helen.

Aku menekan tombol yang terdapat pada pen tersebut dan rekaman suara Rayhan pun berputar. Mendengar suaranya sendiri, Rayhan terlihat cukup terkejut.

"Terima kasih karena berkat lo, gue dan kakak gue jadi dapat bukti baru" aku memasukan pen tersebut ke dalam tas milikku dan menarik lengan Helen untuk keluar dari ruangan itu.

"Coba aja kalau lo berani! Seharusnya Helen berterima kasih karena gue udah bantu ngedongkrak karir dia! Tanpa gue, lo bukan apa-apa, Helen. Lo cuma cewe murahan!"

Mendengar ucapannya itu, aku menghentikan langkahku. Aku memutar leherku dan membalik badanku, kembali menghadapnya. Dengan cepat aku berjalan menghampirinya dan menendangnya tepat pada bagian vitalnya.

"Ini buat apa yang udah lo lakuin ke gue dan Helen"

Setelah itu aku melanjutkannya dengan sebuah tendangan pada kakinya, hingga membuatnya menekuk kedua lututnya di depan Helen.

"dan yang ini adalah yang seharusnya lo lakuin ke kakak gue karena udah hancurin kepercayaannya"

Sambil menarik Helen keluar dari ruangan itu, aku terus memegang tangannya hingga kami sampai di depan tempat mobilnya diparkir. Helen masih berdiri terdiam, tatapannya terlihat kosong. Aku menghela napas panjang dan melepas tangannya.

"Lo ga perlu nahan air mata lo, itu cuma akan bikin rasa sakit lo semakin dalam"

Helen mengalihkan tatapannya kepadaku dan memelukku.

"Maafin gue" ucap Helen pelan.

Aku tersenyum tipis di balik pelukkannya itu.

"Semuanya udah selesai" ucapku sambil menepuk punggung Helen pelan, melakukan hal yang sama seperti apa yang Keenan selalu lakukan kepadaku.

***

"Kali ini, gue ga akan ngelarang lo" Keenan meletakkan sekaleng beer di hadapanku.

Melihat kaleng yang sudah lama tidak tersentuh olehku, aku pun dengan cepat membukanya.

"Helen gapapa?" tanya Keenan.

"Ya gitu deh, dia cuma butuh waktu sendiri untuk saat ini"

Aku meneguk beer yang baru ku buka itu dan menatap langit malam yang saat itu dihiasi oleh bintang-bintang.

"Dikhianati orang yang selama ini dipercaya olehnya, gue rasa ga mungkin dia gak kenapa-kenapa. Gue juga bingung gimana gue bisa bantu dia cepat keluar dari hal itu"

"Keenan"

"Hm?"

"Lo ga bakal lakuin itu ke gue kan? Merusak kepercayaan gue, nutupin hal dari gue ataupun membohongi gue"

Keenan tersenyum tipis.

"Ngak"

"Janji?" aku mengangkat jari kelingkingku.

"Janji" balasnya sambil mengaitkan jari kelingkingnya denganku.

Janji itu membuat sebuah perasaan bersalah pada hati Keenan. Kini, hanya tersisa satu minggu sebelum keberangkatannya ke New York dan Karin masih belum mengetahui hal itu. Rasanya, ia sudah mengingkari janji yang baru dibuatnya.

MaisonWhere stories live. Discover now