plate 6·2

264 28 0
                                    

Keenan membalik tubuhnya, disana ia melihat rekan-rekan kerjanya.

"Kalian... ngapain di sini?" tanya Keenan yang masih terkejut melihat kehadiran mereka.

"Nganterin lo lah" ucap Bram.

"Kan udah gue bilang ga perlu, kalau ada pelanggan gimana?"

"Tenang aja, kita udah pasang pengumuman kok kalau kita akan buka mulai jam 3 sore hari ini" balas Elin.

Keenan tersenyum sambil menatap wajah-wajah yang pasti akan ia rindukan itu.

"Gue titip Maison ya"

Mereka pun mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Oh ya, ada bintang tamu yang lebih penting" ucap Bram.

"Papa? Mama?" ini adalah pertama kalinya Keenan melihat kedua orang tuanya berdiri berdampingan seperti ini setelah lebih dari 20 tahun.

"Anak mama sama papa mau ke New York masa kita ga anterin sih" ucap ayah dari Keenan sambil menepuk bahu anaknya itu.

Keenan pun tak bisa menghentikan senyumannya.

"Kamu hati-hati ya nak di sana, jangan lupa untuk selalu bersyukur dalam kondisi apa pun" ucap ibu dari Keenan sambil memeluk putra satu-satunya itu.

Perpisahan singkat itu berakhir, ditandai dengan suara pengumuman yang diberikan oleh pihak maskapai penerbangan yang akan membawa Keenan ke New York.

Keenan memeluk kedua orang tuanya untuk yang terakhir kalinya.

"Goodluck" ucap Bram sambil menepuk bahu sahabatnya itu.

"Kabarin gue kalau ada apa-apa ya dan soal titipan gue-"

"-iya tenang, gue juga bakal selalu kasih tau lo kabar tentang primadona lo itu"

Keenan tertawa kecil. Sambil menarik kopernya, ia mulai melangkah masuk ke dalam gerbang yang akan memisahkannya dengan orang-orang yang ia sayangi. Ada sebuah perjalanan panjang yang menanti Keenan.

***

Mendengar cerita Marcella, tak membutuhkan waktu lama bagiku untuk segera berlari menuju pintu keluar ruangan itu. Aku menekan tombol lift berkali-kali tapi rasanya lift tersebut tak kunjung sampai. Hingga akhirnya aku mengambil tangga darurat yang terletak di sudut lantai itu. Dengan cepat aku melangkahkan kakiku, melewati setiap anak tangga yang ada.

Air mata pun mulai membasahi kedua mataku, membuat pandanganku sedikit buram dan melewati salah satu anak tangga. Aku terjatuh di atas dinginnya tangga itu, aku memaksa diriku untuk berdiri tapi rasanya kaki ini tidak bisa diajak kompromi. Aku memukul pergelangan kakiku sambil membiarkan air mataku menetes.

"Stop, Karin!" Marcella menahan tanganku sebelum aku kembali memukul pergelangan kakiku.

"Selama ini gue terlalu sibuk menceritakan segala masalah gue ke Keenan sampai-sampai gue lupa untuk mendengarkan ceritanya juga, gue harus samperin Keenan" ucapku sambil mengumpulkan seluruh tenaga yang tersisa pada kakiku untuk kembali berdiri. Tapi hasilnya malah membuatku kembali terjatuh.

"Percuma, Keenan udah berangkat dari tadi!" ucap Marcella dengan nada suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Mendengar ucapannya itu kembali menamparku. Aku mengalihkan pandanganku kepada Marcella dan menangis sekencang mungkin. Marcella menarikku ke dalam pelukannya dan menepuk punggungku dengan perlahan.

Hari ini, rasanya seluruh energiku telah habis untuk menangis. Ada rasa kecewa sekaligus bersalah dalam diriku.


"Maaf, kita sudah tu-" ucapan Bram terhenti ketika ia melihat wajahku.

Aku menunjukkan senyuman yang sedikit ku paksakan kepadanya.

Meskipun sudah melewati jam operasi restoran, Bram tetap mempersilahkanku untuk masuk. Aku duduk pada salah satu tempat yang selalu menjadi tempat dudukku setiap kali aku mengunjungi restoran itu.

"Ini" Bram meletakkan sebuah buku yang berukuran cukup tebal di hadapanku.

Aku membuka buku itu dan mengenali tulisan yang terdapat pada halaman pertamanya, jelas itu adalah tulisan tangan Keenan.

"Keenan titip ini buat diserahin ke lo. Dia bilang ada resep-resep makanan yang udah ditulis secara lengkap sama dia. Dari halaman pertama sampai halaman paling akhir udah di urutkan sama Keenan sesuai dengan tingkat kesukaan lo terhadap makanan itu. Ya meskipun belum tentu akurat, tapi dia bisa liat itu dari senyum dan seberapa sering lo bilang makanan itu enak. Itu yang Keenan bilang"

"Gue tinggal sebentar ya" ucap Bram sambil menepuk bahuku pelan.

Aku membalik halaman demi halaman. Dari durasi hingga catatan-catatan kecil yang ditulis oleh Keenan, aku dapat merasakan perasaan yang ia tuangkan ke dalam buku ini.

Special notes : sekarang udah banyak yang jual bahan-bahan masakan yang sudah terpotong dan lo bisa pakai itu aja. Karena gue takut lo bisa terluka kalau lo megang pisau :)

Aku tersenyum sambil membaca tulisannya yang sedikit meledekku itu.

Setelah mencapai halaman tengah dari buku itu, aku menemukan sebuah amplop berwarna pink. Aku membuka amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya.

To : Karin

Waktu lo baca ini, mungkin lo sedang memendam rasa kesal terhadap gue dan gue layak untuk menerima semua itu. Sekarang, giliran gue yang mengambil resiko untuk meninggalkan orang-orang yang gue sayangi di negara kelahiran gue tapi kali ini bukan untuk mencari 'keberhasilan' itu melainkan untuk meraih tempat yang lebih tinggi. Karena, gue udah ga membutuhkan keberhasilan itu. Gue udah merasa berhasil sejak momen dimana gue bisa melihat senyuman lo setiap kali lo mencicipi masakan gue. Mungkin, untuk jangka waktu yang cukup panjang ini gue ga bisa masak comfort food buat lo. Tapi, gue janji gue akan kembali melakukan itu buat lo. Lo bisa pegang janji itu.

-Keenan-

Setelah selesai membaca surat itu, aku menghapus air mata yang kembali menetes pada pipiku. Aku menarik napas panjang dan menutup buku itu. Ada dua macam perpisahan yang terasa lebih menyakitkan, berpisah untuk selamanya dan berpisah secara terpaksa. Karena kau tidak tau kapan kau akan kembali bertemu dengan orang itu, hanya ada ketidakpastian yang tersisa.

MaisonDonde viven las historias. Descúbrelo ahora