Patah hati?

500 59 1
                                    

Ketika hati dan pikiran tidak sejalan, maka semuanya akan hancur
•Uwais•

Abiandra tidur dengan posisi duduk pada kursi penunggu pasien disamping tempat tidur pasien yang William tempati, ia tidur dengan menjadikan tangannya sebagai bantal.

Setelah Habib sadar, Diana langsung meminta Abi untuk menemani William. Padahal sudah ada Alvin disana, tapi Diana masih belum sepenuhnya percaya kepada Alvin, ia harus tau bagaimana keadaan William setelah mengetahui penyakit William yang sebenarnya.

William membuka matanya yang terasa berat, ia sedikit menyipitkan matanya saat merasakan sedikit lebih terang dibanding dengan pencahayaan sebelum ia membuka matanya. Kepalanya terasa sakit, tubuhnya terasa sangat lemah, tangan kanannya kram, ia berusaha mengangkat tangannya untuk mencari posisi yang nyaman. Tapi usahanya tidak membuahkan hasil, tangannya terasa terhimpit sesuatu, ia melirik sekilas apa benda berat yang menghimpit tangannya.

"Abi?" lirih William terkejut melihat adiknya sedang tidur dan sedikit menghimpit tangannya.

Ia melirik arah lain, dan menempatkan Alvin yang juga tertidur di sofa. Ia kembali berusaha untuk memindahkan posisi tangannya dengan sepelan mungkin agar Abi tidak terbangun. Pergerakan William terhenti karena ia mendengar suara yang biasa Abi dan semua orang sebut dengan suara adzan.

William terdiam menyimak lantunan adzan yang terdengar cukup besar.

Deg

Ia memegang jantungnya yang berdetak lebih cepat, ia membeku. Masih terdiam mendengar sampai adzan berhenti. Ini belum pernah terjadi sebelumnya, padahal ia sering mendengar lantunan adzan. Mungkin karena ia terlalu menyimak lantunan tersebut.

"Kak. Kakak udah sadar?" tanya Abi yang langsung berdiri dari duduknya "ada yang sakit? Aku panggil dokter? Iya, aku panggil dokter dulu."

Abi akan segera pergi sebelum William menahan tangannya "tidak usah, kamu disini aja."

Abi mengangguk singkat sebelum memegang erat tangan kakaknya, perkataan Alvin kembali terngiang di telinganya. Ia berusaha agar tidak menangis, menyembunyikan keremukannya dengan tersenyum lebar seperti biasa.

"Abi, kamu kok bisa di sini?" tanya William masih dengan suara paraunya.

"Kak Liam baik-baik aja, kan?"

William memaksakan senyum dengan bibir pucatnya, ia mengelus rambut Abi sambil mengangguk berusaha meyakinkan Abi. "Aku baik, kamu lihat kan. Kamu lupa kakak siapa?"

Abi menggeleng dengan senyuman palsunya, matanya berkaca-kaca. "Kak Liam adalah kakakku yang paling kuat sedunia." Abi sudah tidak tahan, ia melimpahkan semua air mata yang berusaha ia tahan, menangis dalam pelukan William yang tertawa kecil dengan air mata yang sedikit mengalir disudut matanya.

"Maafkan aku karena cuma bisa jadi kakak yang nggak berguna." William mengeratkan pelukannya. "Kamu boleh malu punya kakak berpenyakit, tapi kamu nggak boleh ninggalin kakak. Ini perintah."

"Kakak juga nggak boleh ninggalin Abi sendirian, udah cukup rasanya Abi kehilangan orang-orang yang Abi sayangi. Ini juga perintah."

William tidak menjawab, ia hanya bisa mengucap 'Maaf' berkali-kali.

"Permisi, aku juga butuh pelukan disini."

Abi melepaskan diri dari pelukan William sambil menghapus air matanya, begitu pula William. Mereka menatap Alvin dengan tajam, membuat yang ditatap hanya bergedik ngeri.

Alvin menepuk pelan bahu Abi. "Udah subuh, ayo sholat," ajaknya dan langsung diangguki Abi.


RANIAWhere stories live. Discover now