Bab 21

109 70 42
                                    

Updaten untuk para readers setia, yang di mulmed itu mukanya Sagara kalau lagi serius, jarang-jarang loh Sagara kayak gini.

Aku dan Sagara berjalan berdampingan, menuju gerbang rumahnya. Lima menit yang lalu, aku berpamitan pada keluarga Sagara untuk pulang, mengingat ini sudah jam 7 malam. Aku khawatir pada ibu, kasihan wanita itu sendirian di rumah. Tapi sepertinya justru ibu yang tidak mengkhawatirkanku, buktinya ibu sama sekali tidak menelfonku. Oh iya aku sampai lupa, jam-jam begini kan sinetron kesukaan ibu tayang, pasti di rumah ibu lagi asik menonton, tega-teganya aku di kesampingkan demi sinetron.

Ada-ada saja ibu, tapi ngomong-ngomong, jamuan makan malam dari keluarga Sagara membuatku senang. Ternyata nggak ada salahnya juga aku main ke rumahnya Sagara, boleh deh kalau kapan-kapan Sagara mau mengajakku lagi.

"Sun, tadi waktu kita makan di bang Subur, lo bilang mau ngomong soal Gigi, kenapa nggak di lanjutin ?" ucap Sagara di tengah keheningan kami.

Aku menatap Saga serius, angin malam menerpa kulit pucatku, terasa menusuk kulit lenganku yang tidak di lapisi jaket. Rambut hitam Sagara di terpa angin, membuatnya terombang ambing bak lautan samudera.

"Nggak jadi" ucapku datar.

"Loh kenapa ? Tapi yaudah deh, gue males ngebahas Gigi, bawaanya bikin tengsi" gerutu Sagara.

Kami berdua pun melanjutkan jalan kami hingga tepat di depan gerbang, Sagara memang tidak memarkirkan motornya di dalam, karena katanya dia harus mengantar aku  pulang, daripada di masukin ke dalam, kan repot.

Aku bukannya lupa untuk menceritakan perihal Gigi yang tadi siang berucap padaku, melainkan entah kenapa aku tidak ingin menyinggung perasaan Sagara, aku merasa kalau Sagara itu orang yang baik, buktinya dia begitu sabar menghadapi sikapku yang bikin orang naik darah.

Tepat di depan motor Sagara, kami berhenti, aku memakai helm pemberian Sagara ke kepalaku.

"Sun, lo pake jacket gue yah. Udah malam, dingin" Sagara langsung memakaikanku jacket jeans miliknya dengan telaten.

Aku dapat merasakan wajah Sagara yang begitu dekat dengan wajahku, Sagara terlihat serius, dan aku terlihat seperti orang bego yang hanya bisa menatapnya cengo.

"Permisi yah" ucapnya lagi, cowok itu mengangkat rambut hitamku, hingga jacket pemberiannya terpakai dengan nyaman di tubuhku.

"Makasih, tapi seharusnya kamu nggak usah ngelakuin ini, nanti kamu pakai apa ? Ini kan dingin" seruku padanya.

Sagara terkekeh. "Gampang, gue laki-laki, masuk angin dikit nggak bakal bikin mati, paling minta di kerokin mama atau Sista, pasti baik-baik aja"

"Emang Sista mau ?" tanyaku dengan mata memicing.

"Nanti di kasih duit beli voucher, anaknya pasti nurut. Jangankan duit, di kasih Cha time aja dia mau kok" senyum Sagara.

"Yaudah, terserah kamu, tapi jangan keseringan nyari angin, ntar sakit" ucapku tanpa beban.

Sagara terlonjak kaget, matanya berbinar. "Cieee perhatian, duh mimpi apa yah gue semalam, di perhatiin Sunset, kayaknya momen ini kudu di rayain, gue bakal bikin hajatan tujuh hari tujuh malam aja kali yah ?" gembira Sagara.

SunsetWhere stories live. Discover now