Bab 23

83 55 46
                                    

Aku memeluk erat tubuhku, lima menit yang lalu Sagara membawaku di sebuah warkop yang berada tidak jauh dari lahan pekuburan.

"Sun, ini. Di minum, mumpung masih anget!" seru Sagara yang mengagetkanku, karena cowok itu muncul dengan membawa segelas teh hangat, dapat terlihat jelas kepulan asap dari gelas tersebut.

"Nih, lo pake yah, gue nggak mau lo masuk angin" Sagara memberikanku jacket jeans miliknya, jacket jeans yang tadi pagi sudah ku kembalikan pada cowok itu.

"Nggak Ra, ini kan udah aku kembaliin. Lagian kamu juga basah kena hujan tadi, mendingan kamu aja yang make" tolakku halus.

"Gue gampang Sun, tapi coba lihat diri lo, udah menggigil begitu, nggak tega gue. Daripada sibuk berdebat, mendingan jacketnya di pake aja" tukas Sagara keukeh, aku pun terpaksa menuruti keinginannya.

"Kamu kok bisa tau aku ada di sini ?" tanyaku dengan wajah penasaran.

"Sastra ngeliat lo tadi, lari-lari di koridor sambil nangis. Terus pas dia mau manggil lo, lo udah keburu kabur keluar gerbang sekolah, jadi dia langsung bilang ke gue. Dan soal gue tau lo kenapa bisa di sini ? Itu karena gue yakin, lo nggak mungkin pulang ke rumah dengan mata bengkak begini. Dekat dengan lo, gue jadi tau sedikit tentang lo!" ucap Sagara panjang lebar.

"Ra, aku mohon, jangan bilang ke ibu, kalo aku bolos sekolah yah" aku menarik ujung lengan seragamnya, menatapnya dengan memohon.

Sagara menganggukan kepalanya. "Iya tenang aja. Tapi kenapa lo kayak gini sih Sun ? Cerita ke gue, kenapa lo bisa kayak gini ?" Sagara menatapku serius.

Aku menghentikan kegiatan minumku, aku tau maksud dari omongan Sagara. Lagi dan lagi, cowok itu memintaku untuk berbagi kesedihanku dengannya. Tapi tentunya aku tidak mungkin menceritakan perihal masalah yang terjadi di kelas, Sagara pasti akan marah kepada Gigi. Aku harus bilang apa sama Sagara ?

"Ok kalo lo belum mau cerita, gue nggak bakalan maksa lo kok, itu kan hak lo" Sagara menghembuskan nafasnya, kemudian berpaling menatap lurus ke arah jalan.

Seketika aku merasa tidak enak dengan Sagara, niat cowok itu memang baik, hanya saja aku yang terlalu takut untuk membuka diri. Sudahlah, aku tidak mau membebani pikiranku dengan terus memikirkan masalah ini, aku pun ikut terlarut dengan menatap ke depan, di mana hujan masih setia mengguyur bumi, entah kapan dia akan berhenti. Rasanya seperti beban, yang tidak pernah berhenti mengalir di hidupku.

🌅🌅🌅

Setelah tadi sore Sagara mengantarku pulang, sesuai dengan jam sekolah. Aku langsung beranjak masuk, karena tiba-tiba tubuhku mendadak kedinginan.

Untungnya ibu sama sekali tidak curiga padaku, jam membolosku bersama Sagara, di pakai untuk nongkrong di warnet. Untungnya kami tidak di ciduk petugas Satpol-PP, kalau iya, aku tidak tau dengan keadaanku nanti. Di sana kami menyewa komputer, bermain game, dan juga bermain PS.

Aku yang seperti manusia dari zaman purba, sama sekali tidak mengerti cara kerja permainan itu, aku pun harus rela kalah beberapa kali, karena Sagara yang sudah jago menggunakan benda itu. Walau kadang, cowok itu juga mengajariku cara menggunakan stik PS.

Kini aku sudah berada di dalam kamar, lebih tepatnya di dalam kamar mandi, aku memandangi pantulan diriku di depan cermin. Ternyata Sagara benar, kedua mataku bengkak, tapi untung saja ibu tidak curiga tadi, semoga saja, besok sudah agak membaik.

SunsetWhere stories live. Discover now