Di Balik Pohon

405 53 17
                                    

6 Mei 2019.

Menghirup udara pagi di puncak Gunung Sanghyang tak ada bedanya dengan membaui belasan aroma parfum di saat bersamaan. Wewangian hutan merembes dari getah, bunga dan dedaunan beraneka rupa. Lebah-lebah menari-nari bimbang di antara reranting yang berbunga. Burung-burung berwarna-warni terbangun lalu melompat-lompat riang di dahan. Dari endapan udara di dasar hutan, angin mulai bangkit, berhela pelan, membawa kabur sisa kabut yang terlambat menyublim.

"Kita sampai," Galih menancapkan goloknya ke tanah. "Ini jantung hutan pinusnya, Pak manajer."

Ken maju. Tak ditunjukkannya raut batinnya yang gamang. Hutan samasekali bukan habitat yang cocok buatnya. Setiap saat ditatapnya kompas dengan geliat mata resah. Galih tahu betul Ken punya masalah orientasi arah yang lumayan parah. Banyak hikers Jerman menunjukkan gelagat yang sama. Mereka benar-benar ngotot bahwa matahari itu terbit dari barat.

Sinar matahari menerobos celah-celah pohon, berlabuh di pupil mata Ken yang cokelat tua. Hari ini harus kudapatkan semua barang bukti itu.

Dengan satu perintah singkat, pria berambut ikal pendek itu memulai misinya:

"Galih," dia memanggil.

"Siap, Pak!"

"Pimpin penyisiran!"

"Laksanakan!"

Jawaban yang cetar, namun kebimbangan di mata Ken segera menginfeksi batin Galih. Dari mana dia harus mulai pencarian? Apa ciri-ciri mayat yang harus dia temukan? Dia tak pernah melakukan ini sebelumnya. Dia tahu betul perbedaan bangkai kijang dan bangkai monyet. Masalahnya, yang mereka cari adalah mayat manusia. Baik Soni dan anak buahnya sama-sama berkaki dua. Akan sulit membedakannya, apalagi lamanya sudah dua minggu.

Galih membagi anggota jadi tiga regu. Beberapa serdadu menduga, setiap orang yang tersesat di gunung akan mencari dataran yang lebih rendah atau mencari sumber air. Satu-satunya sumber air di gunung itu ada di lereng puncak sebelah barat,—sebuah mata air kuno yang sejak seminggu lalu mulai mengecil dan surut.

"Kita cari ke arah mata air Nagalaya, Galih!" usul Wira, pria yang satu desa dengannya. "Aku yakin mereka pasti mencari sumber air lalu tewas."

Aku tidak sedang memikirkan itu, Galih membisu. Aku sedang berpikir mengapa Soni Raditya Prakasa tewas dengan lengan kiri terpisah.

Soni Raditya Prakasa.

Mata Galih tiba-tiba kelilipan. Rasanya aku pernah mendengar nama itu.

Soni. Pak Soni.

Kakinya menginjak sesuatu yang berkeriuk di dalam tumpukan tanah gembur dan dedaunan kering. Galih menyibaknya dengan ujung kaki.

Alat suntik. Masih lengkap pula dengan jarumnya. Dipungutnya alat suntik plastik yang telah remuk itu dan ditatapnya lekat-lekat. Sesuatu sedang mengambang dalam pikirannya. Sesuatu yang sudah lama sekali terkubur.

Pak Soni?

"Galih?" Wira memanggil.

Galih tersadar. Dibuangnya alat suntik lusuh itu, lalu dia berbalik. "Kita susuri di wilayah hutan pinus ini!"

"Tapi itu sudah dilakukan oleh dua tim sebelum kita, anak muda!" seorang serdadu berkulit gelap protes. "Kita harus susuri wilayah lain. Kita mesti ke arah mata air."

"Hutan ini cukup lebat dan luas, kawan-kawan." Galih terdiam. "Barangkali mereka melewatkan beberapa bagian."

Ada lenguhan protes.

"Kita punya waktu tiga jam," tebas Galih. "Setelah itu baru kita lanjutkan ke arah mata air."

Selesai. Bubar.

Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)Where stories live. Discover now