Ladang Jagung (I)

341 51 7
                                    

Jalinan kerangka baja yang menjulang di lereng bukit Bontong sudah hampir sempurna. Tiang pancangnya ditusukkan jauh ke dalam tanah tiga bulan lalu, bersamaan dengan ditanamnya bibit jagung di ladang-ladang warga. Semakin banyak daun jagung yang bersemi, semakin semrawut pula jalinan baja yang menopang menara itu. Kini puncaknya sudah mulai kelihatan dari kampung, seperti kepala seekor ular yang mengintip dari seberang bukit. Beberapa minggu lagi akan ada lampu indikator yang berkedip-kedip di sana. Ibu-ibu muda akan menjadikannya topik buat menakut-nakuti anak-anak agar mau tidur.

Mulai seminggu lalu, Haji Nusir sang lurah girang bukan main. Meski dia sendiri pun tak pernah tahu yang namanya ponsel pintar, tetap saja dia bersemangat keliling kampung, mengatakan bahwa kampung mereka bakal punya jaringan seluler generasi kelima. Petani-petani jagung diceramahinya sambil marah-marah,—mengulang sampai titik koma apa yang didengarnya dari seminar 'desa melek teknologi' di ibukota kecamatan. Para petani jagung manggut-manggut saja sambil pura-pura paham.

Lurah mana yang tidak semringah karena tiba-tiba kampungnya dimasuki teknologi setelah lebih dari tiga puluh tahun terisolasi. Datangnya tepat pula saat dia menjabat. Sejak menteri perhubungan menandatangani prasasti jalan itu tiga dekade lalu, jabatan lurah sudah diganti tujuh kali dan desa itu tetap ketinggalan zaman. Dia berharap namanya bakal dikenang orang sebagai lurah five-G,—yang dikatakannya sebagai 'paip ji' yang medok—menunjukkan betapa dia tak bisa lupa dengan kampungnya di Kediri setelah setengah abad dia tinggalkan.

Hari itu, menjelang sore, Haji Nusir mampir ke ladang jagung Made Wijaya. Sudah setengah jam dia duduk di gubuk dan berceramah tentang internet. Peserta ceramah itu hanya tiga pemuda kampung yang kelelahan akibat berjemur di ladang seharian. Jonar dan Sarjan, dua buruh jagung sewaan Made Wijaya, hanya mendengar sambil pura-pura paham. Kadek Haricatra jadi yang ketiga, cukup senyum-senyum saja. Sebulan belakangan ketiganya harus siap sedia di ladang. Haricatra berjaga sampai sore, Jonar dan Sarjan bergiliran di malam hari sampai subuh. Jagung-jagung mulai berbunga di bulan ketiga, dan tongkolnya mulai menyeruak di awal bulan keempat. Jika dibiarkan tanpa pengawasan, monyet-monyet hutan bakal menyerbu dan menghabiskan semua tongkol muda itu tanpa sisa hanya dalam waktu dua hari. Serangan monyet mengganas sejak setahun lalu. Entah apa sebabnya. Jumlah mereka makin banyak dan makin bandel pula. Dulu tembakan bedil bisa membuat mereka jera, tapi sekarang tidak. Jika satu saja monyet ditembak, esoknya banjir monyet akan melancarkan aksi balas dendam. Semua pohon jagung mereka cerabuti. Ladang diobrak-abrik sampai rata dengan tanah. Sejak saat itu, senapan tidak pernah lagi dipakai. Percuma besar.

"Kalau kalian punya internet, kalian bisa ngomong lewat HP sambil lihat wajah orangnya!" begitu kata pria tua itu menggebu. Ke mana-mana dia memakai peci putih, kaus oblong santai dan sarung merah marun khas orang-orang tua. "Nah, Generasi Paip Ji ini ya begitu nantinya!"

Haricatra tersenyum, duduk manis di dipan bambu yang sesekali bergetar karena gerakan tubuh Haji Nusir yang bagaikan dalang. Kata-kata pria itu mengingatkannya pada ponsel pintar terakhir yang dipencet-pencetnya satu setengah tahun lalu. Kemarin setelah mengirim 'donasi' ke kota, ayahnya berkata kalau ponsel itu sering dipeluk ibunya kala tidur.

Aku tak ingin melunturkan semangat orang ini dengan mengatakan bahwa ayahku meneleponku dengan VPN OTP enkripsi generasi kelima.

"Dan tahukah kalian,—" suara Haji Nusir terpotong.

Telinga ketiga anak muda itu tiba-tiba teralihkan. Sarjan si pemuda dua puluh lima tahun tiba-tiba bangkit. Telinganya awas.

Haji Nusir mulai mendengar suara itu. Dia ikut-ikutan bangkit dari dipan bambu yang berkereyot-kereyot.

"Suara apa itu?" Jonar menatap rimbunnya tapal batas hutan beberapa belas meter di depan mereka.

"Dari arah hutan!" Haji Nusir menunjuk.

Haricatra: Labuhan Kemang (Trilogi Kedua)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora