About Arven | 07

4.1K 433 58
                                    

"Kak."

"Kakak."

"Kak Gahran."

"KAK GAHRAN WOY, ANJIR!"

Arven berdecak, menghela napas panjang saat Gahran tidak merespon sedikitpun dari panggilannya. Ada rasa menyesal mulai tumbuh di hati Arven, tadi mungkin ia salah berbicara hingga membuat Kakaknya itu mendiaminya selama 2 jam yang lalu.

Merepotkan bagi Arven sekarang, membuat Gahran kembali seperti biasanya akan sulit. Sekalinya cowok itu ngambek, sulit untuk menghiburnya.

Gahran tidak menjawab, ia tengah memasak di dapur. Membiarkan Arven menonton tivi di sofa dengan hati yang mulai gundah. Ia memang tidak mengijinkan Arven membantu memasak, takut jika anak itu kelelahan dan berujung kambuh.

Arven merosotkan tubuhnya di sofa, menaikkan tubuhnya lagi dan merosotkan ke bawah. Membuat sebuah perosotan di sofa kala bosan mulai menghampiri. Percuma saja jika Gahran menemaninya sepanjang hari ini, toh juga tidak ada percakapan menarik yang menemani mereka berdua.

Arven jengah, ingin sekali menabok wajah Gahran.

Tetapi, ia masih sayang Gahran.

"Bosen banget gue njir, si ayam malah bisu daritadi. Apa jangan-jangan, Kak Gahran beneran jadi ayam?" Mata Arven menatap tubuh Gahran yang sedikit menyembul di dapur. "Nggak deh kayaknya."

Arven bangkit, berjalan mendekati dapur dan mengecek tubuh Gahran dari belakang. Tidak ada ekor ayam, dan tidak ada bulu ayam. Arven jadi percaya jika Gahran tidak akan berubah menjadi ayam.

Gahran yang sadar dengan kedatangan Arven segera melihat wajah anak itu dengan tatapan datar, ia menaikan sebelah alisnya.

Arven meneguk ludah kasar, melihat wajah Gahran yang sangat menyeramkan. Lebih menyeramkan dari Olaf di Frozen, Arven jadi takut.

"A-anu itu. Gue lagi cari tikusnya Naruto, di mana ya." Arven menunduk, mencari tikus di lantai dapur. "Puss, sini sama Bapak, nak."

Bola mata Gahran terus menatap Arven yang perlahan ke luar dari dapur. Ia kembali menatap daun kangkung yang tengah ia potong. Tersenyum tipis sejenak sembari melanjutkan aktivitas yang ia tunda.

Arven memang tidak suka jika Gahran marah terhadapnya.

°°°

Arven menaruh hp di atas nakas, hatinya terasa lega ketika sudah menghubungi Om Rilvan bahwa dirinya tidak bisa bekerja hari ini, dengan alasan ada acara keluarga. Untung saja Om Rilvan menerima alasan itu dengan jawaban yang manis dan sopan.

Karena merasa bosan, Arven menjatuhkan tubuh kurusnya di atas ranjang. Kedua bola hitamnya menatap langit-langit kamar.

"Bunda waktu ngandung Arven ngidam apaan aja? Kok bisa Arven lahir kayak cewek?"

"Apa jangan-jangan gue emang cewek, tapi lahirnya cowok." Arven berdiam sejenak, kemudian ia segera bangkit.

"WHAT?! ENGGAK!" Ia segera berjalan ke kamar mandi, melihat dirinya di pantulan cermin. Meraba-raba wajah mulusnya yang mirip dengan laki-laki.

Arven kan memang laki-laki.

"Gue cowok kok. Ganteng, imut, manis, gemesin. Nggak kayak cewek, rambut gue pendek." Arven memuji diri di pantulan cermin, mengacak rambut agar terlihat lebih tampan. Ia memang tampan, sih.

"Banyak kok yang suka sama gue--"

"Eh, nggak ada satupun yang suka sama gue," lanjutnya sembari menghela napas. Berpikir mengapa dirinya tidak menjadi most wanted di sekolah. Apa mungkin Arven benar-benar mirip cewek?

About ArvenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang