About Arven | 19

3.4K 384 182
                                    

Tubuh Arven perlahan menggeliat, merasa tidak nyaman dengan posisi tidur, ia membuka kelopak mata yang terasa berat. Panas masih singgah sejak kemarin, enggan untuk pergi sedikit pun. Bibir yang kering dan pucat itu hendak terbuka, ingin memanggil nama sang kakak. Namun, apa yang ia inginkan sudah datang di hadapannya.

"Gimana? Udah baikan?"

Gahran datang, dengan segelas air hangat. Ia menaruhnya terlebih dahulu di nakas, lalu menempelkan punggung tangannya di leher Arven, embusan napas lega berhasil mengudara. Demam sang adik sudah turun, hanya sedikit, tetapi tidak apa-apa yang terpenting ada perubahan.

"Sa-sakit."

Arven berhasil mengeluarkan sebuah rintihan, ia memejam ketika kepalanya kembali berdenyut, bukannya pergi, malah semakin menjadi.

"Jangan ditarik, Ven. Nanti makin sakit."

Gahran menahan tangan Arven yang masih bertahan menjambak rambutnya, ia meneguk ludah kasar saat melihat anak itu menggigit bibir bagian bawah. Rasa sakit yang Arven rasakan perlahan mengalir dalam perasaan Gahran.

"Pengen jedotin kepala di jalan raya, biar sakitnya ilang!"

"Heh, anjir! Ntar gue laporin ke Bunda."

Arven cemberut, menampar lengan Gahran dengan kasar. Ia tidak mau jika sang kakak melaporkan hal yang tidak jelas kepada sang bunda. Padahal, ia sangat ingin menjedotkan kepalanya di jalanan, agar sakitnya sedikit berkurang.

"Udah gue telpon tadi, Bunda ngomongnya banyak banget. Bilang kalo lo itu bandel, ngeyel, keras kepala, nakal, durhaka, banyak lagi deh pokoknya."

Sejujurnya Arven ingin marah, ngegas, teriak, dan masih banyak lagi, tetapi tubuhnya sama sekali tidak bersahabat. Ia menarik napas dalam kala sesak kembali menyapa, meremas selimut yang membalut tubuhnya.

Ada yang Gahran tidak sukai ketika Arven sakit, adiknya itu akan diam seharian, tidak berteriak seperti biasanya. Rumah yang biasanya ramai akan mendadak sepi. Entah mengapa si sakit sangat senang bermain di tubuh lemah milik Arven.

"Makan dulu, yuk. Gue suapin."

Arven menggeleng, perutnya terasa mual. Tidak ingin diisi apa pun, tetapi jika terus seperti ini. Dirinya tidak akan sembuh-sembuh, Arven ingin sembuh, ia tidak suka sakit. Menyebalkan dan tidak dapat berteriak di dalam rumah.

"Ven! Kalo lo nggak makan, gue tabok!"

"Nggak mauuu ...."

Arven merengek, ia menendang selimut dengan asal. Tubuhnya mulai risih saat ini, menginginkan posisi tidur yang nyaman. Namun, gaya apa pun sudah ia coba. Tetap saja tidak membuahkan hasil yang memuaskan.

Gahran menghela napas, ia lekas memandang jam dinding, sudah pukul 08:23. Beruntung hari ini hari Minggu. Jadi, ia bisa merawat Arven sepenuhnya, mungkin ia tidak akan mengambil pekerjaan nantinya. Sebab, sang adik lebih penting dari pekerjaannya.

"Bandel lagi, gue tabok beneran!"

Tubuh Gahran sudah bangkit, ia melangkah keluar dari kamar Arven ingin mengambil makanan yang sudah ia masak tadi. Hal itu membuat Arven cemberut, ia harus memaksa makanan itu untuk masuk ke dalam perutnya.

"Bunda ... perut Adek nganu rasanya. Mual-mual unch, kurang cinta dari Kekeyi."

°°°

"Ayam ... gue nggak mau hamil!"

"Hah? Maksud lo?"

Arven mencengkeram perutnya, masih terasa mual. Bahkan, bubur yang sudah berhasil ia telan menambah rasa mual di dalam perutnya. Entah mengapa rasa itu tidak ingin pergi darinya, Arven bahkan sempat berpikir jika ia hamil.

About ArvenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang