About Arven | 21

2.8K 360 151
                                    

"Iya, Bun. Ini Gahran udah sampai di rumah."

"Jangan begadang, ya, Kak! Habis ini Kakak harus tidur. Cek dulu kondisinya Adek. Nanti kalau udah baikan, kabarin Bunda."

"Iya, Bunda."

Gahran masih menggenggam dan menempelkan benda pipih itu di samping telinganya. Ia mengunci pintu utama terlebih dahulu sebelum ke kamar Arven. Ruang tamu tampak sepi, sebab teman-temannya sudah pergi sejak Arven tidur. Gahran pun tak lupa berterima kasih kepada mereka lewat telepon.

"Besok Bunda kirimin uang, ya, Kak. Jangan biarin Adek makan sembarangan, tau kan kalau udah sembuh bandelnya itu minta ampun."

Sebuah tawa kecil berhasil keluar dari bibir Gahran, ia berdiri sejenak untuk menjawab telepon dari sang bunda. Ia tak ingin mengobrol di dalam kamar Arven, takut jika anak itu bangun dan berakhir mengamuk.

"Biasanya kalau miring suka makan kerikil, Bun. Eh––"

"Kakak bilang apa?"

"Ah, nggak, Bun. Hehe, itu tadi ada tokek terbang."

Gahran menggigit bibir bagian bawah, untung saja tadi ia berujar dengan sangat pelan. Jadi, sang bunda tak mendengar ucapan yang menyatakan bahwa Arven memakan kerikil. Terdengar lelucon memang, tetapi sang bunda akan mudah percaya, dikarenakan Arven jika sedang gabut, apa pun bisa anak itu coba untuk dimakan.

"Kakak mah ada-ada aja. Udah, ya, Kak. Bunda mau lanjut kerja dulu, Kakak inget istirahat yang cukup, ya!"

"Iya, Bunda."

Panggilan itu sudah diakhiri oleh Gahran, ia memandang benda yang sedari tadi menempel di telinganya. Senyumannya yang manis pun terbit kala perkataan sang bunda masih terngiang-ngiang di kepalanya. Rasa lelah pun berangsur pergi dari raganya.

"Oiya, harus cek tuh bocah dulu."

Gahran menyimpan hp-nya di saku jaket, ia lantas membuka pintu kamar Arven dan segera masuk. Embusan napas lega berhasil ia keluarkan kala melihat Arven yang sudah tertidur pulas, plester demam pun tak lagi menempel di dahi anak itu. Ia percaya jika demam sang adik sudah turun.

Langkah Gahran mendekat ke ranjang Arven, ia mendaratkan pantatnya di samping sang adik. Tangannya terangkat dan menggeser poni Arven yang menutupi dahi, ia lekas menempelkan punggung tangannya di sana.

Senyuman Gahran kembali terukir, tampak lebar dan hangat. Hatinya berdesir senang ketika dahi Arven tak terasa panas seperti tadi dan kemarin. Adiknya itu sudah sembuh saat ini, ia pastikan jika besok akan ada teriakan Arven lagi. Tidak apa-apa, Gahran justru menyukai teriakan Arven. Ya … sebelum penyakit itu mengambil alih paru-paru sang adik.

"Tidur yang––"

Ucapan Gahran terpotong oleh suara telepon yang berbunyi nyaring. Ia lantas merogoh saku jaket, iris hitamnya memandang lekat nomor yang tidak ia kenali itu. Dengan malas, ibu jarinya bergerak untuk menggeser tombol hijau. Ia lekas menempelkan benda itu di samping telinganya.

"Hallo?"

Gahran mematung, ia meneguk saliva dengan kasar. Jantungnya mendadak berdetak dengan cepat, ia kontan menggeleng kuat, menepis segala pikiran negatifnya. Sesekali kelereng hitamnya memandang Arven yang tengah tertidur dengan pulas.

"Hallo? Ini beneran Adek Gahran, 'kan? Anak A––"

Panggilan itu segera Gahran matikan, ia mengusap wajahnya yang terasa dingin. Detak jantungnya semakin menjadi, bahkan ia sesekali menarik napas dalam-dalam. Masih tak percaya dengan suara yang barusan menelponnya.

About ArvenWhere stories live. Discover now